Laman

Jumat, 01 Mei 2015

Road Map Implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa



1. PendahuluanUU Desa Nomer 6 Tahun 2014 tentang Desa yang didukung PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan PP No. 60 tentang, Dana Desa yang Bersumber dari APBN, telah memberikan pondasi dasar terkait dengan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kebijakan dasar dan strategi dalam pelaksanaan tersebut perlu dirumuskan dalam Road map Implementasi pelaksanaan UU Desa. Road map juga didasarkan pada PP No. 43 Tahun 2014, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Rumusan tersebut sebagai bagian Pelaksanakan ketentuan Pasal 31 ayat (3), Pasal 40 ayat (4), Pasal 47 ayat (6), Pasal 50 ayat (2), Pasal 53 ayat (4), Pasal 66 ayat (5), Pasal 75 ayat (3), Pasal 77 ayat (3), dan Pasal 118 ayat (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.Kebijakan tersebut didukung dengan: 1) Permen Desa, PDT dan Transmigrasi  No.  1 Tahun 2015 Tentang  Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul; 2 Permen Desa, PDT dan Transmigrasi  No.  2 Tahun 2015 Tentang Tentang Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa  Dan Kewenangan Lokal Berskala Desa; 3) Permen Desa, PDT dan Transmigrasi  No.  3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa; 4) Permendagri No. 111 tahun 2014 Tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia; 5) Permendagri Nomor 112 tahun 2014 Tentang Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia; 6) Permendagri Nomor 113 tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa; 7) Permendagri Nomor 114 tahun 2014 Tentang  Pedoman Pembangunan Desa.
Strategi ini juga dalam mengoptimalkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pelaksanaan UU Desa perlu dijabarkan lebih luas dalam Peraturan Pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Permendagri, Perda, Perdes dan kebijakan pendukung lainnya. Sementara ada beberapa Peraturan Pelaksanaa dan kebijakan pendukung yang mengatur tentang desa yang tidak selaras atau bertentangan perlu dilakukan upaya review atau penyelarasan yang disesuaikan atau mendukung penjabaran teknis pelaksanaan dari UU Desa.
Disini lain ada kebijakan Kementrian /Lembaga dalam pelaksanaan pembangunan baik langsung dan tidak langsung ke desa yang perlu diintegrasikan dengan UU Desa. Proses ini juga membutuhkan strategi dan skenari dalam masa transisi dalam penguatan kelembagaan pemerintahaan desa dan masyarakat. Dasar kebijakan Perencanaan Pembangunan Desa (PPD), Pengintegrasian Sistem Pembangunan Partisipatif (SPP) dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) menjadi bagian terpenting dalam proses strategi masa transisi menuju UU Desa. Berikut muatan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa..
Visi dan misi presiden terpilih menyatakan bahwa perlu ada rata-rata per desa 1,4 milyard per tahun untuk pembangunan desa. Data desa dan kelurahan di Indonesia sebanyak 79.636 dengan penambahan pemekaran desa sebanyak 2% atau  1.593 sehingga jumlah desa dan kelurahan diperkirakan sebanyak 81.229 desa. Komitemen presiden terpilih dengan jumlah desa sebanyak 81.229 dengan pengalokasian pendanaan rata-rata per desa sebanyak 1,4 milyar maka diperlukan pendanaan sebesar Rp.   113,720 triliun per tahun.
Sehingga Road Map pelaksanaan UU Desa merupakan rencana aksi dalam merumuskan isu-isu strategis, skala prioritas, tahapan sistematis mengenai pelaksanaan kegiatan dalam kurun waktu  2014 sampai 2019. Adanya road map memberikan arah kemana proses implentasi UU Desa. .
2. TujuanMenjadi instrumen yang akan memberikan arahan skenario dan tahapan proses dalam melakukan pencapaian pelaksanaan, pengintegrasian, transisi kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan mulai dari preparasi, tindaklanjut preparasi, pemantapan, pengintegrasian dan transisi program Kementerian/ Kelembagaan menjadi kebijakan nasional yang diselaraskan dengan UU Desa.3. VisiTerlaksannya pelaksanaan integrasi, transisi program Kementerian/ Lembagan dan pelaksanaan UU Desa dengan Sistem Pembangunan Partisipatif Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPP-SPPN) sampai Tahun 2019, 4. Misi

  1. Merumuskan arah, tujuan. kebijakan dan strategi pelaksanaan UU Desa menjadi kebijakan terpenting dalam strategi penanggulangaan kemiskinan,
  1. Menyatupadukan sistem Sistem Pembangunan Partisipatif Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPP-SPPN) ke persiapan integrasi, transisi program Kementerian/ Kelembagaan ke dalam sistem pembangunan reguler serta menyelaraskan perencanaan teknokratis, politis dengan perencanaan partisipatif dalam pelaksanaan UU Desa yang setara dan berkeadilan,
  1. Menyelaraskan kebijakan dengan UU Desa khususnya yang terkait dengan kebijakan di Departemen Keuangan, Bappenas, Kementrian Dalam Negeri dan Kebijakan dalam Proses Inisiasi Kementrian Desa,
  1. Menyiapkan kebijakan integrasi dan transisi program pembangunan dari Kementerian/ Kelembagaan yang selama ini berjalan di timgkat desa
  1. Memperkuat dokumen Perencanaan Pembangunan Desa (RPJMDes dan RKPDes), APBDes Partisipatif dan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD) Kades,
  1. Meningkatkan kualitas proses dan hasil  perencanaan basis desa, kecamatan dan kabupaten serta merumuskan kegiatan strategis berbasis klaster/ kawasan dan peka konflik,
  1. Meningkatkan kapasitas kelembaga kemasyarakatan, desa  dan pemerintahan  lokal/ daerah,
  1. Mendorong kebijakan penyelarasan rencana dan penganggaran yang berbasis Masyarakat Desa atau Swakelola Masyarakat,
  1. Menjadikan kebijakan pengintegrasian satu perencanaan dan satu penanggaran dengan RPJMDes dan RKPDes sebagai satu-atunya dokumen perencanaan di tingkat desa yang diselaraskan dengan kebijakan nasional Sistem Pembangunan Partisipatif Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPP-SPPN).
  1. Menumbuhkembangkan perkembangan ekonomi perdesaan/ lokal, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), teknologi tepat guna, jejaring usaha antar desa, kawasan regional dan internasional, 
  1. Menyediaan tenaga pendamping desa profesional yang mempunyai kompetensi khusus dalam mendukung perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan desa dan kawasan perdesaan
  1. Memperkuat kebijakan dan intrumen pengendalian pembangunan desa dan kawasan perdesaan khususnya kebijakan yang mendukung pelaksanaan UU Desa..
5. Kerangka Kerja
  1. Otonomi  Daerah. Pelaksanaan UU Desa dilaksanakan dalam kerangka pelaksanaan Otonomi Daerah, yaitu hak, wewenang, dan kewajiban (daerah otonom)/ otonomi desa untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  1. Pemberdayaan Masyarakat. Pelaksanaan penguatan pelaksanaan UU Desa menjadi sarana bagi proses/upaya secara sadar dan terencana untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat   agar dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi serta mendapat pendampingan oleh relawan pendamping dan pendamping profesional.
  1. Penguatan Demokrasi. Pelaksanaan UU Desa menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran dan penguatan praktik demokrasi ditingkat lokal.  
6. Strategi Tahapan/ Periode Pelaksanaan UU Desa
  1. Tahun 2014-2016: Penekanan tahap preparasi, transisi program K/L, penguatan kapasitas dan dukungan kebijakan,
  1. Tahun 2016-2018: Penekanan peningkatan pembangunan, kelembagaan dan peningkatan kapasitas desa dalam mendukung proses kemandirin desa,
  1. Tahun 2019-2019: Menekankan pemantapan Sistem Perencanaan Pembangunan Partisipatif Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPP-SPPN) dan Daya Saing Ekonomi Perdesaan,
7. Penegasan Arah/Orientasi AksiKegiatan yang dilakukan sebagai upaya dan proses penguatan pengintregrasian memiliki arah dan titik sentuh yang jelas sesuai sasarannya yaitu:
  1. Pemerintah Desa dan Daerah, diorientasikan untuk penguatan komitmen dan mendorong reorientasi kebijakan untuk penguatan pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat dalam perspektif satu perencanaan  dan satu pemganggaran yang berbasis RPJMdes & RKPDes.
  1. Masyarakat Sipil, dalam memperkuat lembaga desa dan masyarakat dalam pemahaman dan pemantapan Community Development (CD)/ Communnity Dreven Development (CDD), Community Base Organization (CBOs), Community Organiser (CO) yang menempatkan masyarakat sebagai subjek,
  1. Masyarakat Politik, diorientasikan untuk meningkatkan keberpihakan kepada rakyat dan memberikan dukungan regulasi khususnya regulasi yang terkait langsung dengan pelaksanaan UU Desa yang memberikan inisiasi langsung oleh masyarakat,
8. Isu-Isu Strategis Pendukung Pelaksanaan UU Desa
  1. Merumuskan Roadmap/Peta Jalan Pelaksanaan UU Desa. Road Map/ Peta Jalan Pengintegrasian SPP SPPN sampai TA. 2019 yaitu terwujudnya kebijakan  Pelaksanaan UU Desa 
  1. Merumuskan Adanya Kebutuhan Kementrian Desa. Konskuensi logis dari adanya UU Desa memberikan amanat terkait dengan pelaksanaan kurang lebih 72.499 desa secara menyeluruh dari berbagai pendekatan pembangunan desa, kawasan perdesaan dan tata kelola pemerintahan desa. UU Desa juga mengamanatkan adanya 10% dari transfer ABBN yang memberi ruang yang luas untuk mendukung kemandirian desa dalam pemerataan dan strategi pembangunan di Indoensia. Menjadi perlu bahwa dalam melakukan implentasi / pelaksanaan UU Desa yang sistematis, terukur dan terorganisirdi perlukan kementerian tersendiri yaitu Kementrian Desa. Stategi yang dilakukan adalah: a) Memastikan presiden terpilih mempunyai komitmen yang tinggi dalam melakukan implemenntasi UU Desa; b) Melakukan negoisasi dengan DPR selaku pembuatan UU Desa dan pengawasan pelaksanaan UU Desa; c) Melakukan Kajian/ review terkait kebutuahn kebijakan untuk Kementrian Desa; d) Melakukan Identifikasi Kebutuhan Dirjen, Direktorat dan Unit Pendukung Kelembagaan Lainnya untuk Kementrian Desa; e) Membuat Rumusan Akademis dalam Skenario Kementrian Desa; d) Merumuskan skenario program pembangunan desa dan kawasan perdesaan; e) Penyediaan tenaga pendamping profesioanal dalam menerapkan kebijakan dasar, tujuan dan prinsip-prinsip UU Desa khusunya prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas; f) Merumuskan instrumen pengendalian terkait dengan pelaksanaan UU Desa; e) Kebijakan lainnya dalam mendukung inisiasi Kementerian Desa.
  1. Skenario Transisi Program Kementerian/ Kelembagaan ke dalam UU Desa. Adanya UU Desa mengharuskan skenario pembangunan desa di K/L yang perlu dipastikan dengan keberlanjutan pembangunan. Program pembangunan antara lain ada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) sebagai program pemberdayaan masyarakat dan beberapa program PNPM lainnya yang masuk ke desa serta program dari K/L. Ada beberapa permasalahan yang mendasar dalam program ini terkait dengan: 1) Adanya aset PNPM Mandiri Perdesaan terdapat Aset Ekonomi dalam bentuk Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) dan Usaha Ekonomi Produktif lebih dari 10,5 trilliun untuk dipastikan legalitas dan keberlanjutan program serta beberapa aset program dari K/L: 2) Aset sarana dan prasarana dalam bentuk hibah, wakaf atau aset masyarakat lainnya yang tersebar di lokasi perdesaan yang jumlahnya ratusan ribu kegiatan dimana status kepemilikan/ legalitas belum terdata dalam aset desa atau aset masyarakat dari PNPM dan K/L; 3) Terdapat lebih 30.000 tenaga fasilitator/ pendamping profesional yang mempunyai keahlian teknis dalam pembangunan perdesaan dan kawasan perdesaan dan sangat strategis dalam dukungan pelaksanaan UU Desa di dalam masa transisi pelaksanaan UU Desa; 4) Diperlukan waktu untuk penyusunan atau penjabaran operasionalisasi dari UU Desa dalam bentuk kebijakan (PP, PMK, Permen, Juklak-Juknis, dan lainnya); 5) Perlu preparasi bagi pemerintah desa dan daerah untuk menyesuaikan peraturan pelaksanaan UU Desa; 6) Perlu peningkatan kapasitas Kades dan perangkat Desa yang terencana secara sistematis dan fokus penguatan kapasitas kelompok masyarakat, dan sedangkan bidang Otonomi Daerah kurang mendapatkan pelatihan atau pembinaan secara khusus; 7) Perlu upaya untuk mengurangi risiko terkait dengan kesalahan pengelolaan dana yang memiliki konsekuensi hukum dan kemungkinan tidak tercapainya sasaran kesejahteraan masyarakat; 8) Perlu perumusan skema alih kelola atas asset yang dihasilkan PNPM Mandiri Perdesaan, program K/L dan lembaga-lembaga yang telah terbentukm oleh program; 9) Perlunya rumusan kegiatan strategis didalam dalam kegiatan dalam masa transisi UU Desa,
  1. Mengatur/Menata Ulang Piranti Lunak Pembangunan Desa. Kebijakan pelaksanaan UU Desa perlu adanya dukungan kebijakan, pedoman, panduan dan beberapa dukungan perangkat lunak lainnya. Dukungan ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk melakukan pengaturan serta penyelarasan pelaksanaan UU Desa. Banyak UU, PP, Peremendagri, Perda, Perdes dan kebijakan lain yang belum selaras dengan UU Desa. Adanya kebijakan yang tidak selaras dan tidak konsisten dalam skenario pelaksanaan UU Desa dan praktek di lapangan akan menimbulkan permasalahan pelaksana teknis di lapang. Kegiatan ini perlu dirumuskan secara serius dalam dukungan piranti lunak kebijakan. Dukungan pintati lunak program berguna dalam memastikan adanya kebijakan pelaksanaan UU Desa mempuyai dasar legalitas yang kuat. Kebutuhan piranti lunak program ini harus dilakukan penyelarasan kebijakan yang terkait dengan penganggaran (Kementrian Keuangan), Kebijakan Daerah dan Desa (Kementrian Dalam Negeri), Kebijakan yang terkait dengan perencanaan pembangunan desa dan kawasan perdesaan dalam skenario perencanaan pembangunan nasional (Bappenas), Kebijakan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan (Kementrian Pekerjaan Umum) dan kementrian lainnya yang terkait dalam pelaksanaan UU Desa. 
  1. Strategi Perencanaan dalam Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014. Skenario Perencanaan dan Pembangunan dalam pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014, telah dijabarkan dalam PP 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa  dan PP 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ditegaskan dalam Pasal 1 UU Desa bahwa bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 72 UU Desa menyatakan bahwa Pendapatan Desa termatup dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari: 1) pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa; 2) alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 3) bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota; 4)  alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota; 5) bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah  Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota; 6) hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan 7) lain-lain pendapatan Desa yang sah. Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bersumber dari Belanja Pusat  dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi daerah. Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Pasal 79 UU Desa menyatakan bahwa (1) Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota; (2) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjangka meliputi: a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan; b) Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun; (3) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Desa; (4) Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa; (5) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah; (6) Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa; (7) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. PP No. 43 dalam Pasal 118  menyatakan bawa: (1) RKP Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 merupakan penjabaran dari RPJM Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun; (2) RKP Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat rencana penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa; (3) RKP Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berisi uraian: a) evaluasi pelaksanaan RKP Desa tahun sebelumnya; b) prioritas program, kegiatan, dan anggaran Desa yang dikelola oleh Desa; c) prioritas program, kegiatan, dan anggaran Desa yang dikelola melalui kerja sama antar-Desa dan pihak ketiga; d) rencana program, kegiatan, dan anggaran Desa yang dikelola oleh Desa sebagai kewenangan penugasan dari Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota; dan e) pelaksana kegiatan Desa yang terdiri atas unsur perangkat Desa dan/atau unsur masyarakat Desa; (3) RKP Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh Pemerintah Desa sesuai dengan informasi dari pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pagu indikatif Desa dan rencana kegiatan Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota yaitu: a) RKP Desa mulai disusun oleh Pemerintah Desa pada bulan Juli tahun berjalan; b) RKP Desa ditetapkan dengan peraturan Desa paling lambat akhir bulan September tahun berjalan dan; c) RKP Desa menjadi dasar penetapan APB Desa. Skenario RKP Desa memuat rencana penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Dirumuskan dalam bentuk kewenganan desa sebagai berikut: Pada skema tersebut terlihat bahwa usulan partisipatif desa telah dapat menentukan usulan prioritas di tingkat desa sesuai kewenangan desa itu sendiri disebabkan telah ada pendanaan pagu indikatif desa. Namun demikian, usulan partisipatif yang akan diusulkan ke dalam kegiatan pendanaan ABPD kabupaten/kota dan provinsi pemerintah melalui kementrian dan lembaga tetap dilakukan dengan mekanisme reguler. Usulan tersebut tersusun dalam “Daftar Usulan RKP Desa”.
  1. Penataan Manajemen Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan. Secara keseluruhan manajemen pembangunan menjadi perlu diselarkan dalam konsep SPP SPPN yang perlu pada manajemen program. Pasal 1, Penjelasan 8, Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Pembangunan Desa, Pasal 78, ayat (2), Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Pelaksanaan,  Pasal 81 Pembangunan Desa, Pasal 78, ayat (1-5), menyatakan bahwa: a) pembangunan Desa dilaksanakan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Desa; b) Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh masyarakat Desa dengan semangat gotong royong; c) Pelaksanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa; d) Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa dan; d) Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa. Pembangunan Kawasan Perdesaan dalam UU Desa dinyatakan bahwa: a) Pasal 84 Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa; b) Perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan Aset  Desa untuk pembangunan Kawasan Perdesaan merujuk pada hasil Musyawarah Desa; c) Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan Perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Skema ini yang perlu dirumuskan secara detail karena permasalahan ini akan menghasil beberapa kebijakan yang terkait dengan pembangunan desa dan kawasan perdesaan, model pendampingan, kerjasama desa dan pengembangan jejaring perkembangan eknomi perdesaan. Kegiatan yang terorganisir dari proses loby, mediasi, negosiasi antar stakeholder perlu dimanajemen. Keberhasilan pelaksanaan UU Desa dilakukan dengan manajemen dengan baik, terukur dan secara profesional. 
  1. Strategi Kewenanan Desa dalam Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan dalam Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Skenario dalam pembangunan Desa dirumuskan dalam Permendagri No. 14 Tahun 2015 tentang Pedoman Pembangunan Desa meliputi: (1) Pelaksanaan pembangunan Desa terdiri dari: a) Pagu Indikatif Desa; b) Pembangunan Desa berskala lokal Desa; dan c) Pembangunan sektoral dan daerah yang masuk desa. (2) Pelaksanaan pembangunan Desa, dikelola melalui: a) swakelola desa;  b) kerjasama antar desa; c) kerjasama desa dengan pihak ketiga; (3) Pelaksanaan pembangunan Desa yang bersumber dari program sektoral dan/atau program daerah pada, dikelola melalui mekanisme pengintegrasian dan pendelegasian. Arah Kebijakan Kabupaten: Acuan Daftar Usulan RKP Desa perlu memperhatikan antara lain: a) Rencana Srategis Kabupaten/Kota; b) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten/Kota; c) Rencana Strategis SKPD Kabupaten/Kota; dan d) Rencana Tata Ruang & Rencana Wilayah Kabupaten/Kota; e) Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan. Strategi pengelolaan kewenangan tersebut dapat dilihat dalam alur berikut: Pagu Indikatif Desa meliputi yaitu: a) Rencana dana Desa yang bersumber dari APBN; b) Rencana alokasi dana Desa (ADD) yang bersumber dari APBD kabupaten/kota; c) Rencana bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota yang dialokasikan kepada Desa dan; d) Rencana bantuan keuangan untuk Desa yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota. Skenario dalam pembangunan berskala lokal desa lebih mengutamakan pembangunan kawasan perdesaan dengan model pendelegasian. Model ini adalah desa mempunyai kewenangan mengurus tetapi tidak mempunyai kewenangan mengatur. Pada model ini disebut sebagai “model pendanaan delegasi”. Kegiatan usulan model pendelegasian usulan harus masuk dalam RPJM Desa dan RKP Desa. Sementara itu “model pendanaan Integrasi” usulan tidak masuk dalam RPJM Desa dan RKP Desa tetapi cukup tercacat dalam RKP Desa, karena model ini desa tidak diberikan kewenangan mengurus dan mengatur. Jenis kegiatan ini dikerjakan oleh SKPD atau Kementrian/Kelembagaan sendiri.
  1. Penguatan Kelembagaan Pemerintahan dan Kemasyarakatan Desa dan Pemerintah Lokal. Lembaga Kemasyarakatan atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra Pemerintah Desa dalam memberdayakan masyarakat. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Revitalisai kelembagaan masyarakat dan desa dalam mendukung pelaksanaan UU Desa menjadi perlu. Orientasi kelembagan yang hanya mengangandalkan keprojekan perlu direvitalisasi menjadi kelembagaan yang sensitif satu perencanaan dan satu penganggaran. Mengembangan kelembagaan perlu menjawab berbagai hal yang terkait dengan pengintegrasian SPP-SPPN. Lembaga Kemasyarakatan Desa merupakan pilar penting selain Pemerintah Desa dan BPD dalam melaksanakan yang mempunyai fungsi antara lain: a) penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan; b) Penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia; c) Peningkatan kualitas dan percepatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat; d) Penyusunan rencana, pelaksana, pengendali, pelestarian dan pengembangan hasil-hasil pembangunan secara partisipatif; e) Penumbuhkembangan dan penggerak prakarsa, partisipasi serta swadaya gotong royong masyarakat; f) Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan keluarga dan; g) Pemberdayaan hak politik masyarakat. Agenda revitalisasi kelembagaan inilah menjadi perlu dirumuskan lebih detail dan kerja-kerja yang terorganisir serta terukur. 
  1. Peningkatan Kualitas Kegiatan Berbasis Antar Desa/ Kawasan pendukung Ekonomi Perdesaan. Rencana Pembangunan antar desa/ kawasan Perdesaan Berbasis Masayarakat adalah hasil perencanaan pembangunan yang dilakukan bukan berdasarkan unit administrative desa, melainkan atas dasar kesamaan fungsi kawasan perdesaan. Sementara itu, kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Fasilitasi Kegiatan Berbasis antar desa/ kawasan perdesaan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang selaras dengan pelestarian lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam dengan memperhatikan kepentingan antar kawasan dan kepentingan umum dalam antar desa/ kawasan perdesaan, dan kepentingan umum dalam antar desa/ kawasan perdesaan secara partisipatif, produktif dan berkelanjutan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat. Fasilitasi juga membantu masyarakat dalam melakukan identifikasi Pusat Pertumbuhan Terpadu Antar Desa adalah pusat pertumbuhan yang direncanakan dan difokuskan pada desa atau beberapa desa yang memiliki potensi andalan dan unggulan sebagai sentra pertumbuhan terpadu antar desa dan penggerak perkembangan ekonomi desa sekitarnya. Fasilitasi ini juga membantu masyarakat dalam merumuskan Pola Tata Desa adalah tata penggunaan lahan atau ruang desa untuk keperluan kegiatan ekonomi dan budidaya masyarakat, sarana dan prasarana pemerintahan desa, dan pusat layanan sosial. Peningkatan kualitas kegiatan berbasis antar desa/ kawasan pendukung ekonomi perdesaan menjadi bagian konskuensi logis dari pengembangan SPP-SPPN. Peningkatan kualitas perencanaan dan kegiatan strategis antara desa/ kawasan dalam mendukung pusat-pusat pertumbuhan dan pengembangan ekonomi lokal. Meningkatkan kualitas kegiatan menjadi perlu agar kegiatan satu dengan yang lainnya menjadi sinergis hal tersebut diperlukan identifikasi faktor-faktor pengungkit dalam mendukung pusat-pusat pertumbuhan dan pengembangan ekonomi lokal/ perdesaan. Strategi ini juga menjadi agenda dalam penyelarasan/ input  Master Plan, Site Plan, Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) yang menjadi bagian dari input dan strategi resolusi konflik dalam pembangunan. Kegiatan ini perlu dirumuskan bahwa pembangunan kawasan perdesaan perlu dikelola dengan basis ideologi pembangunan kerakyatan dalam mendukung kedaulatan desa.
  1. Penguatan Kapasitas Kelembagaan Desa dan Kerjasama Antar Desa. Kerja sama desa dalam UU Desa terdapat dalapam Pasal 91 UU Desa yang menyatakan bahwa desa dapat mengadakan kerja sama dengan Desa lain dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga. Pasal 92 ayat (1) Kerja sama antar-Desa meliputi: a) pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing; b) kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat antar-Desa; dan/atau; c) bidang keamanan dan ketertiban.  Ayat (2) Kerja sama antar-Desa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa melalui kesepakatan musyawarah antar-Desa. Ayat (3) Kerja sama antar-Desa dilaksanakan oleh badan kerja sama antar-Desa yang dibentuk melalui Peraturan Bersama Kepala Desa. Posisi kelembagaan antar desa dan kerjasama antar desa menjadi strategis khususnya penguatan kerjasama antar desa yang dirumuskan dalam Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD). Ada beberapa agenda penting dalam memperkuat keberadaan BAKD yaitu: a) Melestarian dan pengembangan kelembagaan dan hasil-hasil kegiatan yang telah dilakukan PPK/ PNPM-PPK/ PNPM-MD/ P2SPP dan program sejenis sesuai dengan prinsip yang berlaku; b) Meningkatkan dan mengembangkan pengelola   kegiatan masyarakat, pengelola aset produktif dan sumber daya alam, serta program/ proyek dari pihak ketiga yang bersifat antar desa; c) Meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat pemerintah desa serta kecamatan dalam memfasilitasi sistem pembangunan partisipatif yang integratif ke dalam sistem pembangunan daerah yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat; d) Meningkatkan keterpaduan antar program atau kegiatan strategi penanggulangan kemiskinan di daerah; e) Mengakomodasikan dan merealisasikan usulan kegiatan pembangunan dari masyarakat ke dalam perencanaan pembangunan daerah; f) Meningkatkan kapasitas lembaga kemasyarakatan dan pemerintahan desa dalam pengelolaan pembangunan berkelanjutan; g) Memujudkan sinkronisasi antara perencanaan program, perencanaan penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan daerah setingkat kecamatan dan desa; h) Meningkatkan sinergi pendekatan perencanaan (politis, teknokratis dan partisipatif) dan proses perencanaan (atas-bawah dan bawah-atas ); i) Meningkatkan pengembangan dan peningkatan kapasitas kemasyarakatan dan pemerintahan, terutama pemerintahan desa dalam pengelolaan pembangunan terpadu; j) Mewujudkan sistem penganggaran pemerintah daerah yang memungkinkan tersedianya alokasi dana bantuan langsung masyarakat (BLM) dan atau bantuan pihak ketiga yang bisa diorganisir antar desa dan atau setingkat kecamatan; k) Melembagakan pengelolaan keuangan mikro dalam penyediaan dana pendukung usaha masyarakat miskin yang berperspektif pemberdayaan masyarakat. BKAD telah dilakukan inisiasi oleh PNPM Mandiri perdesaan yang tersebar di 403 Kabupaten dan 5.300 kecamatan di Indonesia. BKAD selaku mandat dari keputusan bersama antar desa telah mempunyai hampir Rp. 10,5 trilliun kegiatan dana bergulir dalam bentuk Simpan Pinjam Kelompok Perempuan dan Usaha Ekonomi Produktif. BKAD-BKAd yang terdapat di tingkat kecamatan telah mengembangkan Forum BKAD setingkat Kabupaten dan Provinsi. Forum BKAD strategis untuk melakukan penguatan berbagai kegiatan program pembangunan yang menyangkut kerjasama dua desa taua lebih atau program pembangunan berbasis kawasan perdesaan. Namun demikian BKAD belum dimaksimalkan dalam pegelolaan sumebrdaya alam, Sistem Informasi Desa dan Kawasan Perdesaan (SIDEKA). Skema yang dikembangkan dalam BKAD ada beberapa Unit/ Tim Kegiatan yang dapat diperluas berdasarkan kebutuhan dari BKAD sendiri berikut skenario penataan BKAD dalam UU Desa. Pelaksanaan UU Desa harus melakukan proses revitalisasi kelembagan ini dalam perspektif payung hukum dan kebijakan pendukung lainnya. BKAD yang dilakukan ileh PNPM Md mengalami masalah dengan legalitas karena BKAd yang dibentuk masih untuk kepentingan program. Ada beberapa masalah dalam masa transisi yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan program dalam UU Desa yaitu: a) Legalitas kerja sama; b) Legalitas dari pembentukan BKAD; c) Legalitas aset PNPM MPd yang dikelola Unit Pengelola Keuangan (UPK), d) Legalitas operasioanl Aset dalam pengelolaan UPK dan; e) Legalitas penguatan kelompok. Di samping itu, ada banyak kegiatan usulan sarana dan prasarana dalam dilakukan dalam kerjasama desa juga belum mendapatkan legalitas. Perlu diketahui bahwa penguatan kerjasama desa mempunayi tujuan utama dalam resolusi konflik.
  1. Perluasan Dukungan terhadap Pembangunan/Mengembang Kerja Sama dengan Pihak ke Tiga. Perluasan pelaksanaan UU Desa perlu mendapat dukungan semua pihak baik parlemen, pemerintah, akademisi, praktisi dan kelompok strategis lainnya. Dukungan kerjasama pihak ke tiga menjadi faktor penentu terkait dengan dukungan terwujudnya pelaksanaan UU Desa. Khususnya mengkomunikasikan kegiatan strategis dalam mendapatkan dukungan penganggaran dari APBD, APBN dan CSR atau pendanaan lainnya. Melakukan advokasi, kampanye, mediasi, loby, koordinasi kesemua pihak menjadi penting untuk mendapat dukungan dan perluasan program.
  1. Penguatan dan Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDDes). Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUMDes, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. BUMDes dalam UU Desa diatur dalan Bab X: Badan Usaha Milik Desa Pasal 87: (1) Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa; (2) BUM Desa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan dan; (3) BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuan Pasal 88 menyebutkan bahwa: (1) Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa; (2) Pendirian BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa. Proses Pembentukan BUM Desa harus melalui Musdes diatur dalam Pasal 54 menytakan bahwa: (1) Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat  Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan; (2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) penataan Desa; b) perencanaan Desa; c) kerja sama Desa; d) rencana investasi yang masuk ke Desa; d) pembentukan BUM Desa; e) penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan e) kejadian luar biasa. BUM Desa Menjadi Bagian Dari Pembangunan Kawasan Perdesaan Pasal 85 Ayat (1) Pembangunan Kawasan Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui satuan kerja perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM Desa dengan mengikutsertakan masyarakat Desa. Hasil Usaha BUM Desa Pasal 89 yaitu: (1)   Hasil usaha BUM Desa dimanfaatkan untuk: a) pengembangan usaha; dan; b) Pembangunan Desa, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Dalam Pasal 90 menyatakan bahwa: (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUM Desa dengan: a) memberikan hibah dan/atau akses permodalan; b) melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan c) memprioritaskan BUM Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa. Kerja sama antar Desa dapat Membentuk BUM Desa Pasal 92, Ayat (6) yaitu:   (1) Kerja sama antar-Desa meliputi: a) pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing; b) kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat antar-Desa; dan/atau; c) bidang keamanan dan ketertiban; (2) Kerja sama antar-Desa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa melalui kesepakatan musyawarah antar-Desa; (3) Kerja sama antar-Desa dilaksanakan oleh badan kerja sama antar-Desa yang dibentuk melalui Peraturan Bersama Kepala Desa DAN; (4) Musyawarah antar-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membahas hal yang berkaitan dengan pembentukan lembaga antar-Desa: a) pelaksanaan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dapat dilaksanakan melalui skema kerja sama antar-Desa; b) perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program pembangunan antar-Desa; c) pengalokasian anggaran untuk Pembangunan Desa, antar-Desa, dan Kawasan Perdesaan; d) masukan terhadap program Pemerintah Daerah tempat Desa tersebut berada; dan e) kegiatan lainnya yang dapat diselenggarakan melalui kerja sama antar-Desa; (5) Dalam melaksanakan pembangunan antar-Desa, badan kerja sama antar- Desa dapat membentuk kelompok/lembaga sesuai dengan kebutuhan; (6) Dalam pelayanan usaha antar-Desa dapat dibentuk BUM Desa yang merupakan milik 2 (dua) Desa atau lebih. Permasalahan mendasar di tingkat desa yaitu: a) Kapasitas Fiskal Desa Lemah (Faktor Internal); b) Orientasi Meminta (Bantuan yang bersifat  Karikatif), bukan memberdayakan masyarakat desa  tetapi menciptakan ketergantungan; c) Belum ada  pendorong/pengungkit di desa yang mampu membangkitkan kesadaran : “desa membangun dan bukan sekedar membangun desa” dan; d) Minimnya partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan. Agenda strategis bahwa BUMDes merupakan usaha pemerintah desa dari aset yang dipisahkan. BUMDes seperti yang yang digambarkan presiden terpilih yang merupakan strategi dalam mendukung cadangan devisa desa untuk mendukung kesejahteraan warga, peningkatan PADes, Menentukan Model Pengungkit dan Implementasinya. Kegiatan ini perlu adanya intervensi dalam penggalian potensi desa dan perencanaan yang terpadu. Kebijakan pengembangan Badan Usaha Milik Desa BUMDes (BUMDes) lebih difokuskan dan diorientasikan pada peningkatan PADes dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi desa (investasi desa), multy player effects  guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan pekerjaan dan meminimalisir ketimpangan distribusi pendapatan di desa serta berorientasi pada upaya pelestarian, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan.  Berikut core BUM Desa. Pembentukan Dan Pengembangan Kelembagaan (Instalasi) dengan cara: a) Memfasilitasi musdes pembentukan BUMDes; b) Memfasilitasi penyusunan Pedes tentang pembentukan BUMDes; c) Memfasilitasi penyusunan AD/ART; d) Memfasilitasi penyusunan Keputusan Kepala Desa tentang penetapan pengelola BUMDes; e) Memfasilitasi penyusunan SOPunit usaha BUMDes dan ; f) Memfasilitasi penguatan kelembagaan BUMDes. Peningkatan Kapasitas/ Sdm Pengelola dengan cara: a) Melaksanakan pelatihan pembentukan dan manajemen operasional Badan Usaha Milik Desa (BUMDes); b) Memfasilitasi pelatihan kewirausahaan (enterpreunership) bagi pengelola BUMDes dan; c) Memfasilitasi pelatihan manajerial dan operasional BUMDes. Pengembangan Permodalan Dan Unit Usaha BUMDes yang dilakukan: a) Memfasilitasi permodalan unit usaha dan BUMDes melalui ADD; b) Memfasilitasi permodalan unit usaha dan BUMDes melalui APBD Kabupaten, Provinsi dan Pemerintah Pusat; c) Memfasilitasi permodalan BUMDes melalui kerjasama implementasi corporate social responsibility (CSR) dari BUMD, Perbankan Daerah dan BUMN serta Perbankan nasional serta pihak lain yang memiliki komitmen dan minat yang tinggi terhadap pengembangan BUMDes; d) Memfasilitasi permodalan melalui kerjasama dengan pihak ketiga.Sehingga peranan BUM Desa digambarkan sebagai berikut: Membangun Diversifikasi dan Jejaring Usaha BUMDes dengan cara: a) Memfasilitasi pelatihan bersama SKPD teknis; b) Memfasilitasi bantuan TTG; c) Memfasilitasi bantuan pengembangan unit usaha; d) Memfasilitasi kerjasama pengembangan jejaring usaha dengan pihak ketiga; e) Memfasilitasi pemasaran melalui publikasi langsung dan melalui teknologi informasi (internet/Website); f) Memfasilitasi teknis packing produk dan marketing produk; g) Memfasilitasi sertifikasi produck; i) Memfasilitasi perijinan dan standardisasi produk. Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi antara laian: a) Melaksanakan pemantauan dan evaluasi perkembangan BUMDes; b) Memfasilitasi peleburan/merger unit usaha yang tidak berkembang dan berpotensi merugi; c) Memperluas dan menumbuhkan unit unit usaha atau pengembangan BUMDes baru. 
  1. Penerapan dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Teknologi tepat guna adalah teknologi yang dirancang bagi suatu masyarakat desa agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Dari tujuan yang dikehendaki, teknologi tepat guna haruslah menerapkan metode yang hemat sumber daya, mudah dirawat, dan berdampak polutif minimalis dibandingkan dengan teknologi arus utama, yang pada umumnya beremisi banyak limbah dan mencemari lingkungan. Pembanguan desa pelaksanaan UU Desa aspek yang strategis dengan penerapan teknologi tepat guna. Karena di tingkat desa, teknologi sederhana yang dianggap cocok bagi negara-negara berkembang atau kawasan perdesaan. Bentuk dari "teknologi tepat guna" ini biasanya lebih bercirikan solusi "padat karya" daripada "padat modal". Kendati perangkat hemat pekerja juga digunakan, ia bukan berarti berbiaya tinggi atau mahal ongkos perawatan. Pada pelaksanaannya, teknologi tepat guna seringkali dijelaskan sebagai penggunaan teknologi paling sederhana yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan secara efektif di suatu tempat tertentu. Teknologi tepat guna memiliki arti yang berlainan, seringkali merujuk pada teknik atau rekayasa yang berpandangan istimewa terhadap ranting-ranting sosial dan lingkungan. Penerapan teknologi tepat guna dalam pembangunan desa dan kawasan perdesaan adalah mengembangkan potensi dan sumber daya yang ada di desa untuk dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi baik itu konstruksi yang lazim maupun konstruksi yang tidak lazim diterapkan didaerah lain. Penerapan konstruksi yang tidak lazim dengan memanfaatkan potensi sumberdaya setempat dilakukan melalui uji coba dan berdasarkan pengalaman keberhasilan pembangunan prasarana di lokasi yang berdekatan. Pengujian kelayakan konstruksi di satu wilayah dilakukan oleh fasilitator teknik kabupaten dibantu oleh spesialis infrastruktur provinsi. Teknologi tepat guna yang dikembangkan dalam pembangunan desa dan kawasan perdesaan adalah berupa kegiatan prasarana umum yang banyak dibangun masyarakat dan sarana penunjang kegiatan ekonomi produktif yang memberikan manfaat bagi peningkatan ekonomi masyarakat. 
  1. Peningkatan kualitas sistem Informasi dan Manajemen Informasi Data. Skenari sistem informasi yang dikembangkan setidaknya menjawab kebutuha yang terkait dengan desa bersuara, data desa, tata kelola desa, pembangunan desa dan desa mandiri. Sehingga di tingkat desa perlu dirumuskan adanya Tim Pengelola & Pemelihara sistem informasi desa dalam hal ini setidaknya desa harus: a) Memiliki dan menjalankan jadwal pengecekan kondisi informasi data desa; b) Memiliki jadwal rutin penggantian konten/ informasi yang akan yang dilaporkan; c) Membuat  materi konten/ informasi yang disajikan; c) Bekerjasama dengan dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang terkait dalam pengandaan sistem informasi. Peningkatan kualitas sistem menajemen data menjadi faktor pendukung utama yang selama ini belum berjalan. Data menjadi penting untuk melakukan desk review, evaluasi dan analisis secara cepat dan akurat. Manajemen informasi data dapat diakses secara cepat juga akan menjadi penting untuk melihat kualitas pendampingan dan berbagai kendala yang terjadi di lapangan. Manajemen informasi data yang berbasis IT menjadi perlu dilakukan khususnya dalam melakukan pendataan dokumen/ laporan pendukung pelaksanaan SPP SPPN. Misalkan data dasar, dokumen RPJMDes dan RKPDes, tahapan preparasi, penguatan kapasitas dan kelembagaan dan lain sebagainya. 
  1. Menjaga Kewibawaan Program Pembangunan & Integritas Pendamping. Pelaksanaan UU Desa perlu dijaga kewibahaan dan integritas para pelaku. Proses pelaksanaan UU Desa perlu dilakukan analisis kritis, monev, supervise dan audit agar kegiatan pengintegrasian dapat berjalan sesuai dengan tujuan, kebijakan dasar, prinsip-prinsip dan proses tahapan di lapangan. Sehingga menjadi perlu para pemangku kepentingan/ pelaksanaan dan masyarakat perlu medapatkan sertifikasi atau pengakuan masyarakat yang didasarkan pada kompetensinya sebagai fasilitator perencanaan dan penganggaran daerah bukan sekedar konsultan/ fasilitator projek semata. Pasal Pendampingan dalam UU Desa antara lain: a) Pasal 1 Penjelasan 12 pemberdayaan masyarakat membutuhkan pendampingan; b) Pasal 90, ayat (3) BUMDes, melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; c) Pasal 112, ayat (4) bahwa Pemberdayaan masyarakat Desa dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan; d) Pasal 114, ayat (1), (l):  melakukan pembinaan upaya percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis. Strategi dan skenario Pendampingan Pasca UU Desa antara lain: a) Pendampingan kualitas proses dan hasil perencanaan pembangunan di partisipatif tingkat desa; b) Pendampingan dalam penyelarasan Penjaringan Aspirasi Masyarakat oleh DPRD dan penyusunan Rencana Kerja SKPD dengan hasil-hasil Musrenbang; c) Pendampingan dalam Keterpaduan, keselarasan dan kesatupaduan kebijakan, yang lebih menekan sistem penyelarasan perencanaan politik, teknokratis dengan perencanaan partisipatif; d) Pendampingan penyelarasan rencana kegiatan perencanaan dan penganggaran swakelola oleh masyarakat; e) Pendampingan manajemen pemerintahan desa; f) Pendampingan kapasitas lembaga kemasyarakatan dan pemerintahan, terutama pemerintahan desa dalam pengelolaan pembangunan partisipatif; g) Pendampingan kapasitas pelaku masyarakat dan aparatur pemerintahan, utamanya aparatur Pemerintahan Desa; h) Pendampingan kegiatan perkembangan ekonomi perdesaan dan kemandirian BUMDEs dan; i) Pendampingan peningkatan kualitas kegiatan berbasis antar desa/ kawasan pendukung ekonomi perdesaan. Kompetensi Pendamping dalam Dukungan UU Desa perlu mempunyai kompetensi antara lain: a) Kemampuan menggalang dukungan dan mendorong pendayagunaan  potensi berbagai pihak untuk peningkatan perencanaan dan penganggaran pembangunan partisipatif; b) Kemampuan memediasi dan membangun jaringan kerja sama para pihak (intern pemerintah Kabupaten), DPRD, LSM dan pihak – pihak lain yang terkait dan berkepentingan untuk peningkatan serta pengembangan proses pembangunan partisipatif; c) Kemampuan pendampingan kegiatan Perencanaan Pembangunan Desa (PPD) dalam nentuk penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa; d) Kemampuan pendampingan proses penyampaian aspirasi melalui forum  Hearing/dengar pendapat  DPRD dan Bupati; e) Kemampuan  pendampingan/ bimbingan dalam dukungan teknis kepada Pelaku desa dan antar desa; f) Kemampuan pendampingan dalam menyusun Peraturan Desa dan Peraturan Daerah yang sesuai dengan kebutuhan penguatan pelaksanaan perencanaan, penganggaran dan pembangunan partisipatif; g) Kemampuan penadampingan dalam rancang bangun pelatihan, workshop, semiloka dan lain-lain; h) Kemapuan pendampingan  dan keberlanjutan Tenaga Pelatih Masyarat (TPM), Ruang Belajar Masyarakat (RBMdan tempat Belajar Masyarakat (TBM); i) Kemampuan dalam Memastikan tersusunannya/ review RPJM Desa, RKPDes, APBDes secara partisipatif dan dilanjutkan dan Perdes/ Keputusan Kades serta Perdes lainnya sesuai kebutuhan; k) Kemampuan dalam pendampingan penyusunan APBD Desa, Laporan Keterangan Pertanggungjwaban Kades (LKPDes) dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD); l) Kemampuan mengorganisir Tim Pendamping (tingkat desa, antar desa/ kawasan); m) Kemampuan pendampingan dalam teknis pemberdayaan dan pembangunan desa); n) Kemampuan dalam mensosialisasikan kebijakan terkait dengan desa dan pemerintahan desa; o) Kemampuan mengintegrasiaan Sistem Pembangunan Partisipatif (SPP) dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN); p) Kemampuan memberikan pendampingan dan  dukungan teknis kepada dalam pembangunan desa dan kawasan perdesaan; q) Kemampuan pendampingan dalam Sistem Informasi Desa; r) Kemampuan pendampingan penyusunan rentra kewilayahan, road map dan site plan usulan antar desa/ kawasan; t) Kemampuan pendampingan pelatihan, dan kegiatan lainnya untuk peningkatan kapasitas Kader Teknis Desa (KTD); u) Kemampuan pendampingan dalam mendorong inovasi dan kreatifitas pembangunan desa untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat; p) Kemampuan pendampingan dalam melakukan evaluasi pelaksanaan pembangunan; w) Kemampuan pendampingan dalam memantau dan memeriksa pengelolaan keuangan program pembangunan desa dan antar desa; x) Kemampuan pendampingan dalam validasi dan pemeriksaan pengelolaan kekuangan yang bersumber dari APBN, APBD, Jaring Asmara, CSR, ADD, dan swadaya masyarakat; y) Kemampuan pendampingan memperkuat kapasitas Pengembangan Ekonomi Perdesaan dan kelembagaan BUMDes dan; z) Kemampuan pendampingan penyusun laporan pelaksanaan kegiatan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan. Kebutuhan pendampingan PNPM Mandiri perdesaan telah mempunyai 35.000 tenaga pendamping profesional untuk melakukan penguatan kapasitas dan memastikan pelaksanaan UU Desa dilaksanakan dengan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Namun demikian, jumalah desa yang sebanyak lebih kurang 72.499 desa sendainya satu desa membutuhkan satu pendamping desa ternyata masih kurang memenuhi kebutuhan tersebut. Upaya yang dilakukan adalah: a) Memperkuat kader desa untuk kebutuhan pendamping antar warga masyarakat; b) Kerjasama dengan Perguruan Tinggi; c) Memperbanyak Lembaga pelatihan/ Bengkel Kerja; d) Kerjasama dengan LSM Lokal; e) Kerjasama dengan relawan yang mempunya kepedulian tentang desa dan; f) dan lain-lain. 
  1. Reorientasi Peningkatan Kapasitas Kader Desa. Peningkatan Kapasitas Kader Desa termuat dalam BAB XII tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa Dan Lembaga Adat Desa. Pasal 94 ayat  (1), Desa mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; (2) Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa  sebagai mitra Pemerintah Desa; (3) Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa dan (4) Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa. Kegiatan tersebut mengisyaratkan perlu penguatan kapasitas kelembagaan dan para kader desa dalam menjalankan pembangunan desa. Proses pembangunan desa sangat mengandalkan kader pembangunan yang ada di desa. Kader desa sebagai penyangga utama dari ketahanan masyarakat di desa. Kerangka pikir peningkatan kapasitas Kader berdasarkan prinsip ketidakmampuan pemerintah (di negara manapun) untuk memenuhi seluruh kehidupan, kebutuhan, dan kepentingan serta masalah – masalah masyarakatnya, tanpa keikut sertaan masyarakatnya sendir. Sehingga peningkatan kader yang diorientasikan pada: a) Selalu melakukan pengorganisasian, yang diaplikasikan dalam bentuk keterpaduan yang sinergis; b) Selalu berupaya dalam menggerakan masyarakat dalam pencaian cita-cita secara kolektif; c) Mengembangan organisasi berwatak kader dan kelembagaan moder,n egaliter dan setara dan; d) Selalu melakukan proses perkaderan yang slalu dilakukan evaluasi kritis. Upaya yang dilakukan dalam pembentukan kader desa antara lain: a) Pembentukan kader satu metode pendekatan edukatif; b) Mengefektifkan program pemberdayaan masyarakat; c) Meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif; d) Menjembatani fasilitator/ konsultan dengan masyarakat karna kader berasal masyarakat; e) Agen perubahan masyarakat dalam mengembangan demokratisasi, kesetaraan dan non diskriminasi. Penguatan kapasitas ini diharapkan dapat bertugas secara benar menjadi kader pembangunan dan kader masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain: a) Melakukan analisis sosial dalam rangka melakukan persiapan sosial masyarakat; b) Melakukan proses penyadaran, peningkataan kapasitas, pengorganisasian atau mengembangkan/ merevitalisasi organiasai masyarakat, mengembangkan swakelola dan kemandirian masyarakat; c) Melakukan fasilitasi terkait dengan pelaksanaan masyarakat yang sedang membutuhkan baik secara fisik, pemahaman kritis, analisis-analisis sampai pada proses fasilitasi pembangunan, pelayanan dan pengorganisasian; d) Melakukan tindakaan-tindakan praktis sesuai dengan kepentingan pembangunan atau kebutuhan masyarakat; e) Mengembangkan adopsi, replikasi program yang dianggap berhasil di lokasi atau tempat lainnya dan; f) Bersama masyarakat melakukan kritik adan otokritik dari kerja-kerja fasilitasi dan pengorganisasian masyarakat. 
  1. Reorientasi Peningkatan Kapasitas Tenaga Pendamping Profesional. Tenaga pendamping profesional adalah fasilitator pendamping pemberdayaan masyarakat merupakan  tenaga profesional yang memiliki kompetensi perencanaan dan penganggaran pembangunan desa serta daerah yang bertugas fasilitasi proses kemandirian dan kedaulatan masyarakat dalam pembangunan. Proses fasilitasi tersebut dengan pelibatan stakeholder melalui kegiatan penyadaran, pembelajaran,  penguatan kapasitas dan kelembagaan masyarakat. Kedaulatan masyarakat berarti bahwa pengelolaan program pembangunan dilakukan oleh, dari dan untuk masyarakat melalui proses partisipasi dan demokrasi. Peran fasilitator pendamping pemberdayaan masyarakat adalah membantu proses yang memastikan  masyarakat mencapai tujuan. terkait dengan one village, one plan,  one budgeting, Fasilitator pendamping pemberdayaan masyarakat bertugas fasilitasi terjadinya koordinasi dan konsolidasi antar program di wilayah kerjanya. Fasilitator pendamping secara teknis untuk kelancaran pelaksanaan program dan untuk memberikan pendampingan kepada masyarakat serta  aparat, pemerintah lokal. Adapun tenaga professional sebagai berikut: Melakukan koordinasi intensit dengan memaksimalkan fungsi email group dan penyebaran informasi kebijakan pelaksanaan UU Desa. Penguatan dan reorientasi pelatihan konsultan dan fasilitator menjadi penting. Perspektif, pemahaman substansi sampai pada strategi pelaksanaan di lapangan terus menerus dilakukan tesis, sintesis, antitesis, rekomendasi dan aksi secara terus menerus. Reorientasi pelatihan perlu dilakukan diberbagai level baik level desa, kecamatan, kabupaten, provinsi maupun nasional.
  1. Penguatan Sistem Pengawasan dan Pemantauan oleh Masyarakat. Penguatan sistem pengawasan secara partisipatif oleh masyarakat menjadi perlu. Proses pengawasan perlu dirumuskan dengan pendekatan yang tepat yang dilakukan secara kreatif, inovatif dan menjadi bagaian dari proses pemberdayaan dan tanggungjawb sosial diantara warga masyarakat dalam pembangunan. Proses ini secara keseluruhan perlu dipastikan dan dikemas dalam evaluasi dan monitoring perencanaan serta pembangunan berbasis masyarakat. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan melakukan sertifikasi dan audit dan internal atau pendekatan monev secara menyeluruh yang melibatkan para stakeholder desa, kecamatan dan kabupaten. Implentasi pelaksanaan UU Desa juga mengembangkan pendekatan hak dasar dalam kerangka pengawasan pembangunan. Doktrin negara kesejahteraan (welfare state), dan dalam naskah legal negara kita yaitu Pembukaan UUD ’45; Batang tubuh UUD ’45 pasal 26 sampai dengan pasal 34; UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta dokumen legal lainnya negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab dalam mewujudkan kesejahteraan warga negaranya. Dasar Hukum Pengawasan Pembangunan Oleh Masyarakat, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik; UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pengawasan berbasis masyarakat setidaknya menjawab beberapa permasalahan yang terkait dengan kemandirian masyarakat dalam keterlibatan masyarakat melakukan pemantauan pembangunan. Upaya yang dilakukan antara lain: a) Pengorganisasian Komunitas, mengembangkan kelompok masyarakat penerima manfaat program menjadi kelompok masyarakat terorganisir; b) Pendidikan Kritis, penguatan kapasitas kelompok masyarakat penerima manfaat program dengan pendidikan topikal dalam menjalankan pengawasan pembangunan berbasis komunitas, antara lain Kewajiban Penyelenggara Negara dan Kewajiban Warga Negara, Penilaian Kemanfaatan Program (audit pembangunan), Advokasi Pembangunan; c) Desiminasi Informasi Strategis, membangun pemahaman pada komunitas melalui distribusi informasi  kewajiban negara (pemerintah), hak- hak warga dan program- program yang dijalankan pemerintah di wilayah atau komunitas; d) Advokasi, proses untuk menyampaikan temuan- temuan dalam melakukan pengawasan untuk mempengaruhi dan merubah suatu kebijakan publik agar lebih berpihak pada masyarakat; e) Akuntabilitas Publik, menyampaikan hasil menjalankan pengawasan pembangunan kepada publik dan otoritas terkait (eksekutif dan legislatif).


  • Pengamanan Sosial Dan Lingkungan Hidup. Seperti diketahui bahwa jumlah desa dan kelurahan di Indonesia sebanyak 79.636 dengan penambahan pemekaran desa sebanyak 2% atau  1.593 sehingga jumlah desa dan kelurahan diperkirakan sebanyak 81.229 desa. Komitemen presiden terpilih dengan jumlah desa sebanyak 81.229 dengan pengalokasian pendanaan rata-rata per desa sebanyak 1,4 milyar maka diperlukan pendanaan sebesar Rp. 113,720 triliun per tahun. Permasalahan ini akan menimbulkan permasalahan pengelolaan sumber daya alam di tingkat desa dan kelurahan. PNPM MPd suatu program dengan skala nasional yang yang meliputi 5.020 kecamatan dan sekitar 61.000 desa, dalam pelaksnaan program rata-rata setiap tahun ada 80-86% usulan sarana prasarana telah ikut membawa danpak social dan lingkungan walaupun telah ada aturan negative list yang mensyaratankan agar tidak pelaksanaan pembangunan di tingkat desa harus memperhatikan aspek social dan lingkungan tetapi hasil pemantauan dan kajian menunjukkan bahwa masih banyak kegiatan pembangunan program yang tidak didasarkan dalam penataan dan pengelolaaan lingkungan yang sinergis. Kebijakan “safeguards” atau “pengamanan” sosial dan lingkungan hidup merupakan setu kewajiban yang harus dilakukan sehingga strategi pengelolaan sumber daya alam dilakukan dalam rangka melakukan pencegahan, pengelolaan, dan penanganan risiko terjadinya potensi dampak yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kegiatan pembangunan desa pasca Undang-Undang Desa. Kebijakan perlindungan tidak hanya dimaksudkan untuk menghindarkan dampak sosial dan lingkungan hidup yang merugikan sebagai akibat adanya suatu kegiatan yang didanai kegiatan pembangunan desa, namun juga untuk meminimalkan risiko dampak negatif tersebut. Jika dampak-dampak negatif tidak dapat dihindarkan, Kegiatan pembangunan desa harus merencanakan dan melaksanakan langkah-langkah penanggulangan, perbaikan, dan kompensasi apabila diperlukan. Kegiatan pembangunan desa harus mengadopsi Kebijakan-kebijakan Pengamanan yang mencakup Kebijakan tentang Kajian Lingkungan Hidup (Environmental Assessment), dan Kebijakan Masyarakat Adat dan Komunitas Adat Terpencil (MA&KAT atau Indigenous Peoples) . Penerapan kedua kebijakan pengamanan ini harus disesuaikan dengan karakteristik setiap kegiatan, khususnya dalam hal jenis dan besaran potensi dampak lingkungan serta pengaruh yang ditimbulkan atau keterlibatan MA&KAT dalam kegiatan pembanunan desa. Kegiatan pembangunan desa dilakukan dalam upaya identifikasi potensi dampak serta menetapkan langkah-langkah penanganan dampak negatif yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap kegiatan, melaksanakan langkah-langkah penanggulangan dampak negatif tersebut, serta memantau dan mengawasi pelaksanaan langkah-langkah penanggulangan tersebut. Kegiatan pembangunan desa juga mendokumentasikan dan mengungkapkan kepada publik seluruh kegiatan ini dalam rangkaian proses siklus pembangunan desa yang mempunyai perspektif rendah karbon, perindungan social dan lingkungan.
  • Monitoring dan Evakuasi Efektivitas  Pelaksanaan  UU Desa. Mendorong efektifitas pelaksanaan UU Desa beserta kebijakan pendukung merupakan strategi dan prasarat terpenuhinya pelaksanaan kebijakan tersebut. Pelaksanaan UU Desa perlu dipastikan adanya kebijakan pendukung yaitu PP, Permendagri, Perda/ Perbup khususnya Perda (Pembangunan Partisipasi, Penyerahan Kewenangan dan Urusan, Swakelola Masyarakat). Sementara itu, pelaksanaan SPP-SPPN perlu dipastikan oleh Pemda/ Bappeda. Kebijakan pelaksanaan UU Desa perlu dipastikan oleh Pemerintah Lokal bahwa prinsip-prinsip dasar pemberdayaan dan partisipasi masyarakat menjadi input penting dalam kebijakan tersebut. Kebijakan itu dapat menjadi bagian penting dalam penguatan kualitas pelaksanaan UU desa basis desa, kecamatan, Forum SKPD/ Pemda. Fung Pemda dan SKPD sebagai pembina, fungsi pengendali terkait dengan pelaksanaan UU Desa menjadi penting dirumuskan dalam kebijakan tersendiri. Strategi ini diperlukan sebagai upaya pelaknasan efektifitas kebijakan yang telah diputuskan. Strategi yang diperlukan dengan melakukan klasifikasi dalam proses fasilitasi. Proses pembinaan dan pengendalian antara lain: 1) Penguatan di lokasi desa-desa yang melakukan desiminasi informasi dan preparasi pelaksanaan UU Desa dengan melakukan identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi; 2) Penguatan lokasi tahun ke dua lebih menekankan tindaklanjut agenda preparasi dalam fasilitasi dalam memastikan dukungan kebijakan pendukung pelaksanaan UU Desa dan; 3) Penguatan pelaksanaan UU Desa pada 3 tahun ke atas lebih menekankan pemantapan, sertifikasi dan pelaksanaan kebijakan termasuk komitmen Pemda dalam mengimplentasikan skenario pelaksanaan SPP_SPPN dalam skenario Pendanaan Berbasis Masyarakat/ swakelola masyarakat.

Secara bertahap skenario kebijakan tersebut sebagai upaya dalam memastikan dan kepatuhan pelaksanaan kebijakan SPP-SPPN berbasis dokumen RPJMDes dan RKPDes. Komitmen kebijakan itu perlu dipastikan bahwa dokumen RPJMDes dan RKPDes yang berkualitas menjadi jaminan. Kebijakan ini juga perlu dipastikan bahwa Peran Bappeda sebagai leading sektor perencanaan dan mensertifikasi dokumen RPJMDes dan RKPDes menjadi faktor penentu. Peran SKPD khususnya BPMD lebih memastikan bahwa prinsip-prinsip dasar pemberdayaan dan partisipasi masyarakat menjadi input dan penentu kualitas RPJMDes dan RKPdes.By : Ronggo Purwoko