Laman

Sabtu, 24 Mei 2025

SEJARAH DAN PROFIL DESA TLUTUP

 

SEJARAH DAN PROFIL DESA TLUTUP

KECAMATAN TRANGKIL KABUPATEN PATI

 Desa Tlutup adalah desa di Kecamatan TrangkilPatiJawa Tengah. Desa Tlutup berada di 5 KM dari Ibukota Kecamatan Trangkil, dan 15 KM dari Ibu kota Kabupaten Pati, serta 90 KM dari Ibukota Provinsi Jawa Tengah.


I. SEJARAH DESA

A.  ASAL USUL DESA TLUTUP

1.      Desa Tlutup berawal dari Dukuh Malang di masa lampau.

Desa Tlutup merupakan desa pesisir yang terletak di bagian utara Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa.

Masyarakat Desa Tlutup memiliki mata pencaharian utama sebagai petani sawah, peternak (kambing dan kerbau) dan petambak, dengan wilayah pertambakan yang cukup luas. Mata pencaharian penduduk lainnya yakni : pedagang, PNS, TNI, Polri, perangkat desa, wiraswasta, home industri (batik) dan makanan ringan, karyawan swasta, buruh tani, buruh perusahaan, bengkel las, bengkel sepeda motor, bengkel mobil, tukang batu dan tukang kayu, tukang servis, peternak, pertokoan, warung kuliner, Jasa, dan masih banyak lagi.

Di balik aktivitas ekonomi tersebut, Desa Tlutup menyimpan jejak sejarah panjang yang masih belum sepenuhnya terungkap. Berdasarkan cerita turun-temurun masyarakat, desa ini dahulu merupakan padukuhan bernama Dukuh Malang, secara administratif merupakan bagian dari Desa Kadilangu. Dukuh Malang pada masa lalu merupakan daerah pemukiman yang ramai karena adanya aktivitas pertanian dan kehidupan sosial yang tumbuh subur dan kuat.

Seiring berputarnya waktu, Dukuh Malang mengalami konflik internal dengan pusat pemerintahan Desa Kadilangu di masa lampau. Konflik ini mendorong masyarakat pedukuhan ini untuk memisahkan diri dan membentuk desa baru yang mandiri.

Proses pemisahan ini diyakini bukan hanya karena alasan geografis, tetapi juga dipengaruhi oleh keinginan masyarakat untuk membentuk pemerintahan desa yang lebih sesuai dengan kondisi sosial dan budaya mereka.

Setelah pemisahan tersebut, Dukuh Malang secara bertahap berkembang dan tumbuh secara cepat. Orang-orang dari daerah sekitar mulai datang, ikut menetap, dan menjadikan tempat itu sebagai hunian baru. Karena letaknya yang dulunya dikelilingi oleh hutan lebat dan terlindung dari angin laut utara, untuk kemudian orang menyebut tempat itu sebagai Tlutup, yang artinya “tertutup” atau “terlindung.”

Nama "Tlutup" sendiri hingga kini masih belum diketahui secara pasti asal-usulnya, namun masyarakat meyakini bahwa nama tersebut mencerminkan karakteristik lokal, baik secara geografis maupun historis.

Ada juga kisah yang menuturkan, bahwa awalnya terdapat tiga orang tokoh utama yang menjadi panutan sekaligus inisiator yang namanya tak semuanya tercatat, tapi jasa-jasanya masih abadi dalam ingatan – memimpin perjuangan agar Dukuh Malang bisa dijadikan desa yang terpisah dari Desa Kadilangu. Dengan tekad bulat, mereka memimpin masyarakat dengan semangat gotong royong melakukan berbagai upaya diplomasi, mediasi, dan konsolidasi dalam rangka pemisahan wilayah. Setelah melalui proses panjang yang penuh tantangan, akhirnya Dukuh Malang secara resmi berhasil memisahkan diri dan menjadi desa mandiri untuk menentukan nasib dan kebijakannya sendiri.

Sebagai bentuk penghormatan atas keberhasilan tiga tokoh tersebut (telu dalam bahasa Jawa) dalam mengakhiri dan menutup konflik (nutup dalam bahasa Jawa), maka nama desa baru yang terbentuk diberi nama Tlutup. Nama ini merupakan penggabungan dari kata “telu” dan “nutup”, yang dalam proses pelafalan mengalami penyederhanaan fonetik menjadi “Tlutup” dan akhirnya jadilah Desa Tlutup.

Nama ini bukan sekadar simbol linguistik, tapi simbol persatuan. Simbol bahwa kita bisa berdiri sebagai masyarakat mandiri karena perjuangan, kesabaran, dan keberanian dari para pendahulu kita.

  

2.    Catatan Mengenai Silsilah Tokoh Leluhur

Dalam khazanah budaya dan spiritual masyarakat Desa Tlutup, terdapat dua situs penting yang hingga kini masih dijaga dan dihormati, yaitu Makam Mbah Malang dan Makam Mbah Ronggolawe. Kedua tokoh ini dianggap sebagai leluhur atau sosok penting dalam sejarah berdirinya desa.

·    Mbah Malang merupakan tokoh sentral yang diyakini sebagai pendiri Pedukuhan Malang, yang nama aslinya adalah Raden Sudiyo. Beliau berasal dari wilayah Kabupaten Tuban, Jawa Timur, dan sebagai tokoh perantau yang memiliki keahlian dalam bidang pertanian, spiritualitas, dan mungkin juga kepemimpinan. Kehadiran Raden Sudiyo di wilayah ini mampu menjadikan dirinya sebagai pengayom sekaligus menjadi cikal bakal berkembangnya Dukuh Malang, yang namanya kemudian melekat dan diabadikan dalam nama  padukuhan.

·  Makam Mbah Nyai Kuntiyah. Dikenal juga dengan nama Mbah Nyai Kuntiyo, beliau adalah istri dari Mbah Malang. Keberadaan makam beliau bersebelahan dengan makam Mbah Malang. Hal tersebut menyiratkan bahwa ada peran perempuan dalam mengawal perjalanan sejarah awal desa yang juga patut dikenang dan dihormati. Mbah Nyai diyakini turut mendampingi dan mendukung perjuangan suaminya dalam membangun kehidupan masyarakat yang mandiri dan damai.

·   Mbah Ronggo (Ki Ageng Ronggo) atau lebih dikenal dengan Mbah Ronggolawe, yang cungkup makamnya berdekatan dengan cungkup makam Mbah Malang di makam Desa Tlutup. Beliau dihormati sebagai tokoh spiritual dan pejuang yang juga turut membentuk jati diri masyarakat desa. Diyakini sebagai tokoh pendatang yang juga berasal dari Wilayah Tuban di era kewalian.

·     Keberadaan makam-makam ini, yakni Makam Mbah Malang beserta isterinya dan Makam Mbah Ronggolawe, hingga kini masih dirawat dan diziarahi oleh masyarakat, menjadi simbol sejarah dan spiritualitas Desa Tlutup.

 

Hingga saat ini, silsilah lengkap dari Mbah Malang maupun Mbah Ronggolawe belum diketahui secara pasti. Minimnya literatur tertulis dan kurangnya dokumentasi lisan dari generasi ke generasi menjadi tantangan tersendiri dalam menggali asal-usul keturunan maupun hubungan keluarga para tokoh tersebut.

Namun keberadaan makam dan cerita tutur yang masih terjaga menjadi bukti nyata bahwa kedua tokoh ini memiliki pengaruh besar dalam pembentukan dan perkembangan Desa Tlutup. Oleh karena itu, masyarakat menjadikan situs makam Mbah Malang dan Mbah Ronggolawe sebagai bagian penting dari warisan budaya dan identitas spiritual desa.

 




  3.  Tokoh Masyarakat Pimpinan Desa

Nama Tokoh masyarakat yang pernah memimpin desa sebagai Bekel/Petinggi/Kepala Desa di Desa Tlutup sampai saat ini antara lain :

1. NGO TRUNO.

2. TIRTO LEKSONO.

3. WIRO TOWO.

4. KALIYO.

5. MAKNAWI.

6. HILMANI.

7. ABDUR ROSYID.

8. RONO REBAN ( Sampai Tahun 1950 )

9. ZAINI (1950 - 1975 )

10. DARIS (1975 - 1990)

11. SUDIRO HP. (1990 - 2008)

12. MATURI (2008 - 2015)

13. KUNARSO (2015 - 2021)

14. MATURI (Pereode ke 2 / 2021 - 2029)

Meski tidak banyak literatur tertulis yang mendokumentasikan perjalanan Desa Tlutup secara lengkap, sejarah lisan dan peninggalan tokoh leluhur menjadi sumber penting dalam memahami identitas desa serta nilai sejarah dan identitas Desa Tlutup tetap hidup melalui cerita lisan dan situs-situs peninggalan leluhur tersebut. Kini, Desa Tlutup terus tumbuh dan berkembang sebagai desa yang memiliki semangat kebersamaan, gotong royong, dan kearifan lokal yang kuat menuju desa mandiri dengan pembangunan berbasis potensi lokal.

Ke depan, upaya untuk menggali sejarah dan silsilah tokoh-tokoh pendiri desa ini menjadi tugas kolektif masyarakat dan pemerintah desa, termasuk melalui pendekatan budaya, pengumpulan cerita rakyat, serta kerja sama dengan lembaga sejarah atau akademisi, sebagai ruang terbuka untuk riset dan kegiatan pelacakan sejarah untuk pelestarian budaya lokal yang terintegrasi dengan karakter geografis dan sosial masyarakat Desa Tlutup yang akan menjadi tonggak kebangkitan ekonomi rakyat.

------------------------------------------------------------------------------------------------------


B.  JEJAK KETELADANAN MBAH RONGGOLAWE TLUTUP DAN  WARISAN SITUS-   SITUS BERSEJARAH DESA

 1.   Kisah Kedatangannya sampai ke Dukuh Malang

Alkisah, di sebuah masa yang tak terjangkau oleh hitungan tahun dan catatan sejarah, terjadi sebuah peristiwa besar yang membawa perubahan bagi tanah yang kini dikenal sebagai Desa Tlutup yang kita cintai.

Dituturkan oleh orang-orang tua, di masa lampau adalah seorang tokoh sakti mandraguna bernama Ki Ageng Ronggo, atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Mbah Ronggolawe, yang menjadi pusat dari kisah ini.  

Dikisahkan, dalam suatu peperangan besar—yang waktu dan siapa lawannya tak tercatat dalam sejarah, entah karena dilupakan atau memang sengaja disamarkan—Ki Ageng Ronggo terluka parah. Sebuah tombak menembus perutnya, melukai bagian dalam tubuhnya hingga menganga. Dalam kondisi yang nyaris sekarat, ia tetap memilih untuk bertahan dan menguatkan diri.

Dengan menaiki kuda putih pusaka, Ki Ageng Ronggo memulai perjalanan penuh getir menuju tempat yang ia anggap sebagai harapan terakhir—Padukuhan Malang, tempat tinggal Mbah Malang, seorang pertapa tua sekaligus kerabat dekat yang dikenal memiliki kesaktian dan kemampuan pengobatan luar biasa.

Perjalanan dari arah pantai utara menuju Dukuh Malang penuh dengan kisah-kisah magis. Tatkala sampai di suatu tempat yang saat ini dikenal sebagai “Dukuh Ketower”, luka di perut Ki Ageng Ronggo tak kuasa tersembunyi. Ususnya mulai terburai keluar—“ketok kleweran”, dalam istilah Jawa. Oleh karena itu masyarakat menyebut peristiwa itu sebagai asal-usul nama “Ketower”, dari kata ketok (terlihat) dan klewer (terburai).

Tak lama setelah melewati tempat itu, kuda yang ditungganginya melangkah pelan. Namun kondisi Ki Ageng Ronggo semakin lemah. Ia mulai limbung, tubuhnya nyaris terjatuh dari pelana. Suara langkah kuda terdengar lemah, “keblak-keblak”, seperti gema kematian yang mendekat. Tempat itu kemudian dikenang oleh warga sebagai “Ngablak”, yang kini menjadi area pemakaman warga Dukuh Ketower, seolah menandai batas tipis antara hidup dan ajal dalam perjalanan beliau.

Namun takdir belum mengizinkan Ki Ageng Ronggo menyerah. Ia terus melanjutkan perjalanan dengan segenap sisa tenaga dan ketabahan seorang kesatria. Ketika memasuki wilayah persawahan di tepi timur Dukuh Malang, kuda putih yang menjadi tunggangannya tiba-tiba terjerembab—“keringkel”, begitu istilahnya. Tubuh sang kesatria dan kudanya tersungkur dalam lumpur sawah yang lembab. Tempat itu pun kemudian dikenal masyarakat sebagai “Sawah Ringkel”, saksi bisu momen ketika tubuh lemah sang pejuang nyaris menyatu dengan tanah.(----Sawah Ringkel terletak sebelah utara makam desa, dahulu adalah tanah milik Pemdes, kemudian terjadi tukar guling dengan warga dan sekarang menjadi tempat hunian berupa perumahan warga setelah dikapling----). 

Akhirnya, dalam keadaan hampir tak sadarkan diri, Ki Ageng Ronggo tiba di Dukuh Malang, di hadapan Mbah Malang yang segera memberikan pertolongan. Berkat kesaktian dan ilmu pengobatannya, luka parah itu berhasil disembuhkan. Dari situlah kemudian awal mula pengaruh besar Ki Ageng Ronggo di wilayah ini, yang kelak diwarisi semangatnya oleh generasi demi generasi dan kemudian namanya lebih dikenal dengan Mbah Ronggolawe.

Kisah ini bukan sekadar dongeng pelipur lara, namun menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat Tlutup. Jejak perjalanan Mbah Ronggo tersimpan dalam nama-nama tempat : Ketower, Ngablak, dan Ringkel—yang hingga hari ini masih bisa kita saksikan dan telusuri, sebagai pengingat bahwa sejarah kadang hidup dalam tanah, nama, dan tutur yang diwariskan dari mulut ke mulut.

 

2.    Mbah Ronggolawe : Sang Penjaga Tanah Malang.

Setelah melewati perjalanan berdarah yang nyaris merenggut nyawanya,---------Ki Ageng Ronggo akhirnya dirawat oleh Mbah Malang, sang pertapa tua yang tak lain adalah kerabatnya sendiri. Di sebuah rumah panggung sederhana di tengah lebatnya rerimbunan bambu dan pohon jati, luka di perut Ki Ageng Ronggo dirawat dan diberikan pengobatan secara spiritual dan tradisional dengan ramuan akar hutan, daun sembukan, dan do’a-do’a leluhur yang diucapkan lirih di tengah malam. Dengan tekun dan telaten Mbah Malang dibantu isterinya merawat beliau siang dan malam.

Dalam waktu yang tidak sebentar, luka itu akhirnya berangsur-angsur pulih. Nafas sang kesatria kembali kuat, tatapan matanya kembali tajam, dan semangat hidupnya menyala lagi.

Selama masa penyembuhan itu,  Ki Ageng Ronggo tak hanya berdiam diri. Ia mulai memperhatikan kehidupan sekitar, berinteraksi dengan warga, menyapa anak-anak yang bermain di pematang, dan mengamati bagaimana para petani bekerja di sawah.

Penduduk yang awalnya hanya mengenal beliau sebagai "tamu sakit" pelarian dari utara, mulai merasakan bahwa yang mereka hadapi bukan manusia sembarangan. Cara bicaranya halus tapi dalam, petuahnya menenangkan namun tegas, dan setiap geraknya menunjukkan wibawa seorang pemimpin sejati.

Warga mulai berdatangan—bertanya, belajar, dan meminta nasihat. Ki Ageng Ronggo mulai mengajarkan berbagai hal : cara mengatur air irigasi, menentukan hari baik untuk bercocok tanam, menyelaraskan hidup dengan alam, hingga menanamkan nilai gotong royong dan tata krama budaya Jawa. Sedikit demi sedikit, kehadirannya menjadi cahaya bagi warga Dukuh Malang yang saat itu masih terasing dari pusat pemerintahan dan pendidikan.

Tak lama, nama Ki Ageng Ronggo mulai harum. Ia bukan hanya sembuh dari luka, tetapi telah menanamkan benih kebaikan yang berakar kuat di hati masyarakat. Sosoknya tidak hanya dihormati sebagai orang tua atau tamu agung, tapi sebagai panutan spiritual, budaya, dan kepemimpinan lokal.

Sejak itulah, Ki Ageng Ronggo memutuskan untuk tidak akan kembali ke daerah asalnya, dan memilih menetap di Padukuhan Malang.

Masyarakat Dukuh Malang tidak lagi hanya melihatnya sebagai tamu yang sembuh, melainkan sebagai leluhur yang membimbing dan menyatu dengan tanah ini. Jejak pengabdian dan nilai-nilainya masih terasa hingga kini—terpatri dalam tutur rakyat, nama-nama tempat, hingga cara hidup orang Tlutup yang tetap menjunjung nilai kebaikan, kearifan, dan keteguhan.

 

3.    Membangun Dukuh, Menanam Jiwa.

Dengan karisma dan ilmu kanuragan yang ia miliki, Mbah Ronggolawe mulai menarik perhatian penduduk sekitar. Ia tidak hanya dikenal sakti, tetapi juga bijaksana. Dengan restu Mbah Malang, membuka lahan di sekitar padukuhan, membangun permukiman baru, membangun sawah, membangun ladang, membuat tambak-tambak baru dan memimpin warga membendung sungai kecil untuk irigasi. Ia menanam padi, jagung, dan pisang klutuk yang kemudian tumbuh subur di tanah yang dulunya liar.

Mbah Ronggolawe juga mulai membimbing warga dalam ilmu tata krama, ilmu pertanian, serta do’a-do’a tolak bala, kadang diiringi dengan sajian ayam ingkung (-----hidangan ayam utuh khas Jawa yang dimasak dengan santan dan bumbu rempah-rempah-----).

Beliau mendirikan padepokan berupa punden kecil di ujung timur padukuhan, sebagai tempat bermunajat dan memohon kepada Tuhannya agar bumi selalu terjaga, yang dikenal sebagai Petilasan Ronggolawe, tempat warga kadang membawa bunga, kemenyan, dan harapan. Punden itupun kini telah menjadi areal pemakamam desa.

4.    Tumbuhnya Desa Tlutup

Di bawah kepemimpinan Mbah Ronggo serta bimbingan Mbah Malang, padukuhan Malang berubah menjadi wilayah yang makmur. Orang-orang dari daerah sekitar mulai datang, ikut menetap dan menyatu dengan warga lokal, dan menempati hunian-hunian yang lahannya baru dibuka.

Karena letaknya yang dulunya dikelilingi oleh pepohonan lebat dan terlindung dari angin laut utara, banyak orang menyebut tempat itu sebagai Tlutup, yang artinya “tertutup” atau “terlindung.”

Nama "Tlutup" sendiri hingga kini masih belum diketahui secara pasti asal-usulnya, namun masyarakat meyakini bahwa nama tersebut mencerminkan karakteristik lokal, baik secara geografis maupun historis.

Ada juga kisah yang menuturkan, bahwa awalnya terdapat tiga orang tokoh utama yang menjadi panutan sekaligus inisiator yang namanya tak semuanya tercatat, tapi jasa-jasanya masih abadi dalam ingatan – memimpin perjuangan agar Dukuh Malang bisa dijadikan desa yang terpisah dari Desa Kadilangu. Dengan tekad bulat, mereka memimpin masyarakat dengan semangat gotong royong melakukan berbagai upaya diplomasi, mediasi, dan konsolidasi dalam rangka pemisahan wilayah. Setelah melalui proses panjang yang penuh tantangan, akhirnya Dukuh Malang secara resmi berhasil memisahkan diri dan menjadi desa mandiri untuk menentukan nasib dan kebijakannya sendiri.

Sebagai bentuk penghormatan atas keberhasilan tiga tokoh tersebut (telu dalam bahasa Jawa) dalam mengakhiri dan menutup konflik (nutup dalam bahasa Jawa), maka nama desa baru yang terbentuk diberi nama Tlutup. Nama ini merupakan penggabungan dari kata “telu” dan “nutup”, yang dalam proses pelafalan mengalami penyederhanaan fonetik menjadi “Tlutup” dan akhirnya jadilah Desa Tlutup.

Sejak saat itulah nama Desa Tlutup perlahan tumbuh dalam ingatan masyarakat. Bukan sekadar nama geografis, tapi simbol tempat yang aman, damai, dan diberkahi oleh leluhur yang telah mempersembahkan darah dan semangatnya—--Ki Ageng Ronggo, dialah Mbah Ronggolawe.

 

  5.  Akhir Riwayat “Sang Ronggo”

Tidak ada yang tahu pasti kapan Mbah Ronggolawe berpulang. Jasad beliau dimakamkan di petilasan Ronggolawe, terletak di areal makam Desa Tlutup, dan terawat dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah desa.

Namun satu hal yang pasti : semangat dan warisannya tetap hidup di tanah Tlutup—dalam sawah yang ditanami dan tambak yang dikelola dengan kerja keras, dari air yang mengalir ke sawah dan ke tambak.

Nama beliau dikenang dalam tiap upacara Sedekah Bumi yang rutin dilakukan, dan dalam setiap nama tempat yang menyimpan jejak langkahnya. Bahkan kebiasaan sajian ingkung sampai hari ini masih dilestarikan sebagai ritual manganan/kenduri/slametan ketika warga punya hajat di altar makamnya.

Meski banyak orang mengenal Mbah Ronggolawe sebagai tokoh besar dari Tuban, masyarakat percaya bahwa sebagian kisah perjalanan hidupnya terpatri di desa Tlutup. Jejak langkahnya hidup dalam nama tempat, dan bahkan dalam cerita rakyat yang masih disampaikan secara lisan hingga kini.

Mbah Ronggolawe bukan hanya sosok kesatria yang datang dengan luka, tetapi juga tokoh yang meninggalkan warisan luhur bagi masyarakat Dukuh Malang—kini Desa Tlutup. Dari tapak petilasannya yang masih terjaga hingga hari ini, kita belajar bahwa nilai kehidupan lebih abadi daripada kemenangan dalam perang.

Beliau hadir membawa keteladanan, bukan kekuasaan. Ia mengajarkan bagaimana hidup selaras dengan alam, membangun kebersamaan, dan menjaga tata krama leluhur. Petilasan di timur desa bukan sekadar makam, tetapi lambang jati diri dan arah langkah desa ini.

Warisan Mbah Ronggo kini hidup dalam tutur, tradisi, dan tata laku warga Tlutup.

Selama petilasan dijaga dan kisah beliau dikenang, selama itu pula jiwa leluhur akan terus menyertai perjalanan desa ke masa depan.

         6. Situs Makam Mbah Ronggolawe : Jejak Leluhur, Warisan Jiwa Desa.

Berada di sudut timur Desa Tlutup, berdiri hening sebuah tempat yang menyimpan jejak leluhur dan denyut spiritual masyarakat desa hingga hari ini. Di sanalah berada Punden sekaligus Pesarean Mbah Ronggolawe, tokoh yang diyakini sebagai pendahulu dan pelindung desa ini—seorang kesatria yang datang bukan hanya membawa luka dari pertempuran, tapi juga membawa ilmu, budi pekerti, dan teladan kehidupan.

Petilasan ini bukan sekadar tempat bersejarah. Di sinilah dahulu Mbah Ronggolawe dari Tuban, menghabiskan masa penyembuhan dari luka parah, berbaur dengan warga, dan menanamkan nilai-nilai luhur : gotong royong, keteguhan hati, serta harmoni dengan alam dan sesama. Dititik inilah beliau bermeditasi, bermunajat, dan menyatu dengan tanah Dukuh Malang—yang kelak tumbuh menjadi Desa Tlutup.

Kini, petilasan tersebut telah menyatu dengan areal makam desa, tempat warga Tlutup beristirahat di akhir hayatnya. Namun, meski telah menjadi area pemakaman umum, kesakralan dan kehormatan tempat ini tetap terjaga. Perawatan rutin dilakukan, do’a-do’a leluhur masih dilantunkan lewat kegiatan tahlilan yang diadakan oleh warga, baik dikala ada kematian maupun hajat-hajat yang lain, dan ziarah ke makam Mbah Ronggo menjadi bagian dari tradisi spiritual desa yang tidak lekang oleh waktu.

Situs makam ini menjadi punden, tempat pesarean pepunden atau tokoh dan menjadi pengingat, bahwa sejarah bukan hanya ditulis di buku, tapi juga di tanah yang kita injak dan nilai yang kita warisi. Dan selama warga Tlutup menjaga tempat ini, maka semangat Mbah Ronggo akan tetap menyala—di hati setiap generasi yang mencintai tanah kelahirannya.

Setiap tahun warga mengadakan ritual Sedekah Bumi sebagai bentuk syukur dan penghormatan atas jasa-jasa leluhur, termasuk Mbah Ronggolawe dari Tuban yang telah menanam jejak abadi di tanah Tlutup.

 


  7.  Makam Desa & Jejak Situs Makam Lama Dukuh Malang.

Pada masa lampau, sebelum berdirinya Desa Tlutup, ketika wilayah Dukuh Malang masih menjadi bagian dari Desa Kadilangu. Saat itu, seluruh urusan kemasyarakatan—mulai dari pemerintahan, adat, hingga pemakaman—masih terpusat dan bergantung kepada desa induk. Salah satu yang menjadi saksi bisu masa itu adalah makam lama Dukuh Malang, yang terletak di bagian barat padukuhan, tepat di batas wilayah antara Dukuh Malang dan kawasan krajan Desa Kadilangu.

Makam tersebut dulunya menjadi tempat pemakaman umum bagi warga dari dua wilayah, yaitu warga Dukuh Malang dan warga krajan Desa Kadilangu. Lokasinya berada di tempat yang cukup strategis—terjangkau, tenang, dan secara adat berada dalam perlindungan aura leluhur. Di tempat inilah generasi-generasi awal Dukuh Malang dan Kadilangu dimakamkan, termasuk para tetua kampung yang berjasa membuka lahan dan merintis kehidupan masyarakat terdahulu.

Namun, sejarah kemudian bergerak maju. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya jumlah penduduk serta rasa kebersamaan yang semakin kuat di antara warga Dukuh Malang, melalui proses panjang dan perjuangan administratif serta sosial, Dukuh Malang pun resmi memisahkan diri dari Desa Kadilangu dan mandiri menjadi Desa Tlutup.

Sebagai simbol kemandirian dan awal kehidupan baru, warga Desa Tlutup kemudian membangun makam baru di sisi timur desa, berlokasi di seputar petilasan Mbah Ronggolawe, tokoh yang diyakini sebagai leluhur dan pelindung spiritual desa. Pemilihan lokasi makam baru ini tidak sembarangan—letaknya berada di tanah yang diyakini sakral, dekat dengan pusat meditasi dan pertapaan Mbah Ronggo pada masa lampau.

Makam baru Desa Tlutup bukan hanya menjadi tempat pemakaman, tetapi juga menjadi tempat kegiatan spiritual warga. Di sinilah do’a-do’a untuk leluhur dilantunkan, tradisi sedekah bumi dan megengan dijalankan, serta nilai-nilai kebersamaan antarwarga ditanamkan dari generasi ke generasi.

Sementara itu, areal makam lama yang berada di sisi barat desa tidak dilupakan. Sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian warisan sejarah, lokasi tersebut kini diubah fungsinya menjadi lokasi untuk pembangunan masjid desa (---Masjid Baiturrahimdan sebagian untuk pembangunan SD Tlutup yang sekarang-----).

Keputusan ini bukan hanya untuk kepentingan ruang ibadah, tetapi juga sebagai cara menjaga kesinambungan nilai-nilai spiritual dan kebersamaan. Masjid tersebut kini berdiri di atas tanah yang dahulu menjadi tempat peristirahatan terakhir para pendahulu—sebuah simbol bahwa do’a dan amal ibadah masyarakat Tlutup kini berpijak di atas warisan leluhurnya sendiri.


 

                                           Areal Masjid Baiturrahim Desa Tlutup
  

8.    Jejak Sejarah Atas Pantangan Pernikahan antara Warga Desa Tlutup dan Desa Kadilangu.

Dalam catatan sejarah lisan sebagaimana dituturkan secara turun-temurun oleh para sesepuh, diceritakan bahwa ada benih-benih penyebab terjadinya perpecahan antara Dukuh Malang dan Desa Kadilangu ini, dipicu oleh silang sengketa antara saudara yang berasal dari satu garis keturunan, namun kemudian terlibat dalam pertengkaran terkait kekerabatan.

Perselisihan ini bukan hanya berkaitan dengan urusan kepemimpinan atau tata kelola wilayah, tetapi juga menyangkut harga diri dan hubungan kekeluargaan yang sangat sensitif pada masa itu. Meskipun tidak terdokumentasi secara tertulis, kisah ini diyakini benar oleh sebagian besar warga sebagai bagian dari sejarah lokal yang membentuk identitas sosial mereka hingga kini.

Perpecahan yang terjadi meninggalkan jejak emosional yang dalam dan memengaruhi hubungan antarwarga. Dari peristiwa itulah kemudian lahir sebuah pantangan yang masih diyakini hingga hari ini, yakni larangan bagi warga Desa Tlutup untuk menikah atau kawin dengan warga Desa Kadilangu. Pantangan ini bukan semata soal adat, melainkan juga simbol penghormatan terhadap sejarah, serta upaya untuk menjaga harmoni dan menghindari terulangnya konflik lama dalam bentuk yang baru.

Meski tidak tertulis dalam hukum resmi, pantangan ini dihormati sebagai bagian dari adat istiadat dan nilai budaya lokal. Warga percaya bahwa melanggar pantangan dapat mendatangkan kesialan, penyakit, bahkan perpecahan dalam rumah tangga. Oleh sebab itu, hingga kini pantangan tersebut masih dijunjung tinggi, terutama oleh kalangan tua dan tokoh adat, sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah dan kearifan lokal.

  

9.    Sejarah Atas Warga Yang Hingga Sekarang Tidak Memelihara Sapi (Lembu berwarna putih)

Dalam tradisi dan kepercayaan masyarakat Desa Tlutup, terdapat juga pantangan yang masih dipegang hingga kini, yaitu warga tidak memelihara lembu atau sapi berwarna putih. Hal ini berakar dari nilai-nilai adat dan penghormatan terhadap sosok leluhur desa, yaitu Mbah Ronggo, yang diyakini sebagai tokoh dan pelindung desa.

Menurut cerita yang diwariskan secara turun-temurun, Mbah Ronggo memiliki kuda tunggangan berwarna putih yang menjadi simbol kewibawaan, kekuatan, dan kehadiran spiritual beliau. Oleh karena itu, sapi atau lembu putih dianggap memiliki kesan menyerupai atau menyamai kendaraan tunggangan milik Mbah Ronggo. Memelihara hewan dengan ciri yang sama dikhawatirkan akan dianggap tidak sopan, menandingi, atau bahkan melanggar adab terhadap leluhur, yang bisa membawa hal-hal yang tidak diinginkan bagi pemilik hewan maupun bagi kampung secara umum.

Pantangan ini bukan sekadar mitos, juga bukan semata perkara warna sapi, tetapi soal adab, penghormatan terhadap leluhur, dan kesadaran akan batas-batas tradisi yang diwariskan turun-temurun, yang kemudian menjadi bagian dari kearifan lokal yang mencerminkan sikap hormat masyarakat terhadap sejarah dan nilai-nilai spiritual yang membentuk jati diri Desa Tlutup.

Meskipun zaman terus berubah, pantangan ini tetap dijaga sebagai bentuk pelestarian budaya dan penghormatan terhadap warisan leluhur.

Dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual, kejadian seperti ini menjadi pengingat bahwa tidak semua hal bisa dilihat hanya dari sisi rasional — karena ada warisan tak kasat mata yang tetap hidup dalam kehidupan sehari-hari.


10.    Pamungkas.

Menguak jejak sejarah adalah proses untuk memahami akar budaya, sejarah, dan perkembangan suatu wilayah atau kelompok masyarakat. Proses ini melibatkan penggunaan berbagai sumber sejarah dan memungkinkan kita untuk memiliki pemahaman yang lebih luas tentang dunia di sekitar kita.

Menguak  jejak sejarah berarti mengungkap, menyelidiki, dan mempelajari warisan budaya dan kejadian masa lalu untuk memahami konteks sosial, politik, dan ekonomi suatu wilayah atau kelompok masyarakat. Ini melibatkan penggunaan berbagai sumber sejarah seperti artefak, prasasti, catatan tertulis, dan testimoni lisan untuk rekonstruksi peristiwa dan tren sejarah.

Jejak sejarah desa adalah catatan perjalanan sejarah sebuah desa, mencakup asal-usul, perkembangan, perubahan, dan peristiwa penting yang membentuk identitas dan karakter desa tersebut. Jejak ini dapat berupa cerita lisan, situs peninggalan, tradisi, artefak, dokumen tertulis, atau perubahan fisik pada lingkungan desa.

Memahami jejak sejarah desa penting untuk menjaga identitas dan keberlanjutan budaya, serta untuk menginspirasi generasi mendatang.

Oleh karena itu, kegiatan penulisan ini diharapkan menjadi media dalam rangka  melestarikan identitas budaya dan sejarah Desa Tlutup, sekaligus memperkuat rasa kebersamaan masyarakat. Merupakan bentuk kegiatan pelacakan jejak-jejak sejarah dan pelestarian budaya lokal yang dimaksudkan sebagai upaya pendokumentasian sejarah, cerita rakyat, serta identitas budaya Desa Tlutup secara ilmiah dan berkelanjutan. Digali, di dapat dan diperoleh dari penuturan orang-orang tua warga Desa Tlutup.-

Lebih jauh lagi, dokumentasi sejarah ini agar dapat menjadi modal sosial dan budaya dalam pembangunan desa ke depan, termasuk pengembangan wisata spiritual, budaya, dan edukasi.

Jikalau dari warga ada info tambahan seperti nama tokoh-tokoh terdahulu, tahun atau waktu kejadian, atau peristiwa besar lainnya yang pernah terjadi dan masih tertinggal dalam penulisan ini, bisa dimasukkan kembali untuk memperkuat narasinya. Termasuk jika ada penuturan narasi yang tidak sesuai atau bahkan salah, kiranya ada koreksi dan pembenaran berdasarkan fakta-fakta sejarah tentang Desa Tlutup beserta tokoh-tokoh yang telah mewarnai sejarah desa ini.

Arah dan tujuannya antara lain sebagai berikut :

1. Menggali sejarah dan asal-usul Desa Tlutup secara mendalam melalui pendekatan         

    partisipatif..

2. Mencatat dan mendokumentasikan cerita rakyat, tradisi lokal, dan 

    tokoh-tokoh penting pelaku sejarah desa

3. Menyusun profil sejarah Desa Tlutup sebagai wahana pelestarian 

    budaya dan pembelajaran generasi muda.

4. Menjelajahi kaitan budaya masyarakat dengan lingkungan pesisir, 

    pertanian, dan pertambakan.

Sekali lagi, disadari betul, bahwa penulisan dokumen ini masih terdapat banyak keterbatasan. Oleh karena itu, sangat terbuka terhadap penyempurnaan di masa mendatang. Harapan dan permintaan, kiranya ada partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat guna menyempurnakan dan melengkapi literasi ini.


II. PROFIL DESA

A.  LETAK GEOGRAFIS & WILAYAH ADMINISTRATIF

Desa Tlutup terletak di 5 KM dari Ibukota Kecamatan Trangkil, dan 15 KM dari Ibukota Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis, desa ini berada di kawasan dataran rendah dengan ketinggian antara 10 hingga 25 meter di atas permukaan laut, serta memiliki kondisi tanah yang subur dan cocok untuk sektor pertanian, perikanan, dan peternakan.

Desa Tlutup merupakan daerah pesisir yang berbatasan langsung dengan pantai utara Laut Jawa. Kondisi tersebut menjadikan wilayah ini memiliki area pertambakan yang luas dan persawahan pada umumnya. Karena bersentuhan langsung dengan bibir laut, menyebabkan kondisi tanah pantai berlumpur.

Secara administratif, Desa Tlutup berbatasan dengan :

·  Sebelah Utara        : Laut Jawa

·  Sebelah Timur        : Desa Kertomulyo

·  Sebelah Selatan      : Desa Krandan

·  Sebelah Barat        : Desa Kadilangu

Luas wilayah Desa Tlutup kurang lebih 251,774 hektar (data resmi Pemdes 2021), yang terdiri atas lahan permukiman, persawahan, tambak, ladang, serta fasilitas umum. Jumlah RT dan RW,  ada 10 RT dan 2 RW.

        B.  KONDISI SOSIAL BUDAYA

Masyarakat Desa Tlutup memiliki kehidupan sosial yang harmonis dan menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong, kekeluargaan, dan tradisi lokal. Kebudayaan berjalan bersamaan dengan keagamaan yang diartikan sebagai hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dan tradisi kebudayaan yang masih dilestarikan adalah sedekah bumi. Sedekah bumi merupakan istilah yang digunakan masyarakat sebagai bentuk syukur atas nikmat Tuhan dengan menjalankan beberapa ritual berupa sesajen dan wayang kulit.

Menggunakan pendekatan islamisasi kultur Jawa, tradisi sesajen merupakan wujud akulturasi budaya Islam-Jawa yang di dalamnya dilantunkan do’a–do’a bernafaskan islami seperti tahlil, khataman Al-Qur’an dan manakiban. Momen sedekah bumi dimanfaatkan untuk pelestarian budaya dan sebagai perekat kerukunan warga.

Sistem kemasyarakatan di desa ini masih sangat kuat dipengaruhi oleh budaya Jawa dan tumbuh secara agamis, dengan pelaksanaan berbagai kegiatan adat, seperti :

·           Sedekah bumi

·           Pengajian di tempat ibadah dan pengajian umum

·           Kenduri / slametan

·           Kesenian tradisional seperti rebana

·           Yasinan dan Muslimatan

Mayoritas penduduk yang memeluk agama Islam ini menjalankan kehidupan beragama dengan taat. Nilai-nilai toleransi, musyawarah, dan kearifan lokal menjadi fondasi utama kehidupan bermasyarakat.

C. POTENSI ALAM & EKONOMI

Desa Tlutup memiliki potensi sumber daya alam yang cukup melimpah dan   menjadi penopang ekonomi masyarakat. Potensi utama desa ini meliputi :

 ·           Pertanian : Padi dan hortikultura

 ·           Perikanan : Budidaya tambak ikan dan ikan air tawar

 ·           Peternakan : Ayam, itik, kambing, kerbau dalam skala rumah tangga

 ·           Perdagangan : Pasar desa dan kios-kios sembako yang dikelola oleh warga

 ·           Industri rumahan : Kerajinan tangan, makanan olahan, dan UMKM berbasis lokal

D.  STRUKTUR PEMERINTAHAN DESA


Struktur pemerintahan Desa Tlutup dipimpin oleh seorang Kepala Desa, yang dibantu oleh :

·       Sekretaris Desa

·       Kepala Urusan (Kaur)

·       Kepala Seksi (Kasi)

·       Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

·       RT dan RW


Selain itu, terdapat juga lembaga desa dan lembaga kemasyarakatan antara lain :

·      LPMD (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa)

·      PKK

·      Karang Taruna

·      Kelompok Tani (Sawah dan Tambak)

·      Kelompok Usaha Perempuan / UMKM, dan lain-lain.

·      Organisasi NU, Muslimat, Fatayat, ANSHOR, IPNU, IPPNU, Ikatan Remaja Masjid dan

     KAMUDAIS.

Struktur ini dapat mendukung terciptanya tata kelola desa yang transparan, partisipatif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

E.   SARANA PENDIDIKAN

       Sarana Pendidikan yang ada di Desa Tlutup antara lain :

1.     SD Negeri

2.     Madrasah Diniyah Miftahul Ulum

3.     Taman Kanak-Kanak "Pertiwi"

4.     Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ) Hidayatus Syibyan

5.     Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

6.     SD, SMP dan SMA Plus Abayasa Islamic School


        F.   SARANA KESEHATAN MASYARAKAT

Sarana Kesehatan untuk melayani masyarakat antara lain:

1.   Poli Kesehatan Desa

2.   Posyandu Balita “Estingarah” ( 5 kelompok )

3.   Posbindu Lansia

        G.  SARANA PERIBADATAN

1.   Masjid Baiturrahim (RT. 01/RW. 01)

2.   Musholla Al Hasyim (RT. 02/RW. 01)

3.   Musholla As Shoheh (RT. 04/RW. 02)

4.   Musholla Al Idris (RT. 02/RW. 02)

5.   Musholla Al Masyhadi (RT. 05/RW. 01)

6.   Musholla Darussalam (RT. 01/RW. 02)

7.   Musholla Al Majid (RT. 04/RW. 01)

8.   Musholla Al Suwardi (RT. 05/RW. 01)

9.   Musholla Putri Al Masykuri (RT. 03/RW. 02)

10. Musholla Umar Said (RT. 05/RW. 02)

11. Musholla As Sholih (RT. 04/RW. 01)

       H.   PRESTASI & PEMBANGUNAN

Desa Tlutup terus berbenah untuk kemajuan desa, baik dalam bidang pembangunan fisik maupun non-fisik. Beberapa pencapaian dan kegiatan pembangunan yang telah terlaksana antara lain :

·     Pembangunan jalan desa dan jalan usaha tani.

·     Rehabilitasi saluran irigasi.

·     Renovasi fasilitas pendidikan dan tempat ibadah.

·     Penguatan kelembagaan ekonomi desa, berupa Gerakan Kelompok Tani Sawah dan Tambak,

     BUMDes maupun koperasi desa.

·     Program pemberdayaan masyarakat, pelatihan UMKM, dan pelatihan pertanian modern.

·    Partisipasi aktif dalam kegiatan kecamatan dan kabupaten, seperti lomba desa, Jambore

    PKK, festival seni budaya, festival baca seni Al-Qur’an dan masih banyak yang lain.

Meskipun belum menorehkan prestasi yang signifikan namun hal ini merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah desa dan partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan baik secara fisik maupun maupun secara spiritual.

 I. PENUTUP

Demikian dokumen Sejarah Singkat Asal Usul dan Profil Desa Tlutup ini disusun sebagai gambaran menyeluruh mengenai kondisi, potensi, dan sejarah Desa Tlutup, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati. Penyusunan profil ini tidak hanya bertujuan untuk mendokumentasikan segi administratif desa, tetapi juga sebagai upaya pelestarian nilai-nilai historis dan budaya desa yang patut diwariskan kepada generasi penerus.

Disadari bahwa dokumen ini masih memiliki keterbatasan dan sangat terbuka terhadap penyempurnaan di masa mendatang. Oleh karena itu, partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat sangat diharapkan guna mewujudkan Desa Tlutup yang lebih maju, mandiri, dan berdaya saing, tanpa melupakan akar sejarah dan budaya yang menjadi fondasinya.

Akhir kata, semoga dokumen ini memberikan manfaat bagi warga, para pemangku kebijakan, serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam mendukung pembangunan dan pemberdayaan Desa Tlutup secara berkelanjutan.

---------------------------------oo0oo------------------------------------

       Didokumentasikan, disarikan & disusun ulang oleh :

 

 AHMAD THOLHAH 

(Ketua LPMD Desa Tlutup)