SEJARAH DAN PROFIL DESA TLUTUP
KECAMATAN TRANGKIL KABUPATEN PATI
A. ASAL USUL DESA TLUTUP
1. Desa Tlutup berawal dari Dukuh
Malang di masa lampau.
Desa Tlutup merupakan desa pesisir yang
terletak di bagian utara Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, dan berbatasan
langsung dengan Laut Jawa.
Masyarakat Desa Tlutup memiliki mata
pencaharian utama sebagai petani sawah, peternak (kambing dan kerbau) dan
petambak, dengan wilayah pertambakan yang cukup luas. Mata pencaharian penduduk
lainnya yakni : pedagang, PNS, TNI, Polri, perangkat desa, wiraswasta,
home industri (batik) dan makanan ringan, karyawan swasta, buruh tani, buruh
perusahaan, bengkel las, bengkel sepeda motor, bengkel mobil, tukang batu dan
tukang kayu, tukang servis, peternak, pertokoan, warung kuliner, Jasa, dan
masih banyak lagi.
Di balik aktivitas ekonomi tersebut, Desa Tlutup menyimpan jejak sejarah panjang yang masih belum sepenuhnya terungkap. Berdasarkan cerita turun-temurun masyarakat, desa ini dahulu merupakan padukuhan bernama Dukuh Malang, secara administratif merupakan bagian dari Desa Kadilangu. Dukuh Malang pada masa lalu merupakan daerah pemukiman yang ramai karena adanya aktivitas pertanian dan kehidupan sosial yang tumbuh subur dan kuat.
Seiring berputarnya waktu, Dukuh Malang
mengalami konflik internal dengan pusat pemerintahan Desa Kadilangu di masa
lampau. Konflik ini mendorong masyarakat pedukuhan ini untuk memisahkan diri
dan membentuk desa baru yang mandiri.
Proses pemisahan ini diyakini bukan
hanya karena alasan geografis, tetapi juga dipengaruhi oleh keinginan
masyarakat untuk membentuk pemerintahan desa yang lebih sesuai dengan kondisi
sosial dan budaya mereka.
Setelah pemisahan tersebut, Dukuh Malang
secara bertahap berkembang dan tumbuh secara cepat. Orang-orang dari daerah
sekitar mulai datang, ikut menetap, dan menjadikan tempat itu sebagai hunian
baru. Karena letaknya yang dulunya dikelilingi oleh hutan lebat dan terlindung
dari angin laut utara, untuk kemudian orang menyebut tempat itu sebagai Tlutup,
yang artinya “tertutup” atau “terlindung.”
Nama "Tlutup" sendiri hingga
kini masih belum diketahui secara pasti asal-usulnya, namun masyarakat meyakini
bahwa nama tersebut mencerminkan karakteristik lokal, baik secara geografis
maupun historis.
Ada juga kisah yang menuturkan, bahwa
awalnya terdapat tiga orang tokoh utama yang menjadi panutan sekaligus
inisiator yang namanya tak semuanya tercatat, tapi jasa-jasanya masih abadi
dalam ingatan – memimpin perjuangan agar Dukuh Malang bisa dijadikan desa yang
terpisah dari Desa Kadilangu. Dengan tekad bulat, mereka memimpin masyarakat
dengan semangat gotong royong melakukan berbagai upaya diplomasi, mediasi, dan
konsolidasi dalam rangka pemisahan wilayah. Setelah melalui proses panjang yang
penuh tantangan, akhirnya Dukuh Malang secara resmi berhasil memisahkan diri
dan menjadi desa mandiri untuk menentukan nasib dan kebijakannya sendiri.
Sebagai bentuk penghormatan atas
keberhasilan tiga tokoh tersebut (telu dalam bahasa Jawa) dalam mengakhiri dan
menutup konflik (nutup dalam bahasa Jawa), maka nama desa baru yang terbentuk
diberi nama Tlutup. Nama ini merupakan penggabungan dari kata “telu” dan
“nutup”, yang dalam proses pelafalan mengalami penyederhanaan fonetik menjadi
“Tlutup” dan akhirnya jadilah Desa Tlutup.
Nama ini bukan sekadar simbol
linguistik, tapi simbol persatuan. Simbol bahwa kita bisa berdiri sebagai
masyarakat mandiri karena perjuangan, kesabaran, dan keberanian dari para
pendahulu kita.
2. Catatan Mengenai Silsilah Tokoh Leluhur
Dalam khazanah budaya dan spiritual
masyarakat Desa Tlutup, terdapat dua situs penting yang hingga kini masih
dijaga dan dihormati, yaitu Makam Mbah Malang dan Makam Mbah Ronggolawe. Kedua
tokoh ini dianggap sebagai leluhur atau sosok penting dalam sejarah berdirinya
desa.
· Mbah Malang merupakan tokoh sentral yang diyakini sebagai pendiri Pedukuhan
Malang, yang nama aslinya adalah Raden Sudiyo. Beliau berasal dari wilayah
Kabupaten Tuban, Jawa Timur, dan sebagai tokoh perantau yang memiliki keahlian
dalam bidang pertanian, spiritualitas, dan mungkin juga kepemimpinan. Kehadiran
Raden Sudiyo di wilayah ini mampu menjadikan dirinya sebagai pengayom sekaligus
menjadi cikal bakal berkembangnya Dukuh Malang, yang namanya kemudian melekat
dan diabadikan dalam nama padukuhan.
· Makam Mbah Nyai Kuntiyah. Dikenal juga dengan nama Mbah Nyai Kuntiyo,
beliau adalah istri dari Mbah Malang. Keberadaan makam beliau bersebelahan
dengan makam Mbah Malang. Hal tersebut menyiratkan bahwa ada peran perempuan
dalam mengawal perjalanan sejarah awal desa yang juga patut dikenang dan
dihormati. Mbah Nyai diyakini turut mendampingi dan mendukung perjuangan
suaminya dalam membangun kehidupan masyarakat yang mandiri dan damai.
· Mbah Ronggo (Ki Ageng Ronggo) atau lebih dikenal dengan Mbah Ronggolawe,
yang cungkup makamnya berdekatan dengan cungkup makam Mbah Malang di makam Desa
Tlutup. Beliau dihormati sebagai tokoh spiritual dan pejuang yang juga turut
membentuk jati diri masyarakat desa. Diyakini sebagai tokoh pendatang yang juga
berasal dari Wilayah Tuban di era kewalian.
· Keberadaan makam-makam ini, yakni Makam Mbah Malang beserta isterinya dan
Makam Mbah Ronggolawe, hingga kini masih dirawat dan diziarahi oleh masyarakat,
menjadi simbol sejarah dan spiritualitas Desa Tlutup.
Hingga saat ini, silsilah lengkap dari
Mbah Malang maupun Mbah Ronggolawe belum diketahui secara pasti. Minimnya
literatur tertulis dan kurangnya dokumentasi lisan dari generasi ke generasi
menjadi tantangan tersendiri dalam menggali asal-usul keturunan maupun hubungan
keluarga para tokoh tersebut.
Namun keberadaan makam dan cerita tutur
yang masih terjaga menjadi bukti nyata bahwa kedua tokoh ini memiliki pengaruh
besar dalam pembentukan dan perkembangan Desa Tlutup. Oleh karena itu,
masyarakat menjadikan situs makam Mbah Malang dan Mbah Ronggolawe sebagai
bagian penting dari warisan budaya dan identitas spiritual desa.
Nama Tokoh masyarakat yang pernah
memimpin desa sebagai Bekel/Petinggi/Kepala Desa di Desa Tlutup sampai saat ini
antara lain :
1. NGO TRUNO.
2. TIRTO LEKSONO.
3. WIRO TOWO.
4. KALIYO.
5. MAKNAWI.
6. HILMANI.
7. ABDUR ROSYID.
8. RONO REBAN ( Sampai Tahun 1950 )
9. ZAINI (1950 - 1975 )
10. DARIS (1975 - 1990)
11. SUDIRO HP. (1990 - 2008)
12. MATURI (2008 - 2015)
13. KUNARSO (2015 - 2021)
14. MATURI (Pereode ke 2 / 2021 - 2029)
Meski tidak banyak literatur tertulis yang mendokumentasikan perjalanan Desa Tlutup secara lengkap, sejarah lisan dan peninggalan tokoh leluhur menjadi sumber penting dalam memahami identitas desa serta nilai sejarah dan identitas Desa Tlutup tetap hidup melalui cerita lisan dan situs-situs peninggalan leluhur tersebut. Kini, Desa Tlutup terus tumbuh dan berkembang sebagai desa yang memiliki semangat kebersamaan, gotong royong, dan kearifan lokal yang kuat menuju desa mandiri dengan pembangunan berbasis potensi lokal.
Ke depan, upaya untuk menggali sejarah dan
silsilah tokoh-tokoh pendiri desa ini menjadi tugas kolektif masyarakat dan
pemerintah desa, termasuk melalui pendekatan budaya, pengumpulan cerita rakyat,
serta kerja sama dengan lembaga sejarah atau akademisi, sebagai ruang terbuka
untuk riset dan kegiatan pelacakan sejarah untuk pelestarian budaya lokal yang
terintegrasi dengan karakter geografis dan sosial masyarakat Desa Tlutup yang
akan menjadi tonggak kebangkitan ekonomi rakyat.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
B. JEJAK KETELADANAN MBAH RONGGOLAWE TLUTUP DAN WARISAN SITUS- SITUS BERSEJARAH DESA
1. Kisah Kedatangannya sampai ke Dukuh Malang
Alkisah, di sebuah masa yang tak
terjangkau oleh hitungan tahun dan catatan sejarah, terjadi sebuah peristiwa
besar yang membawa perubahan bagi tanah yang kini dikenal sebagai Desa Tlutup
yang kita cintai.
Dituturkan oleh orang-orang tua, di masa lampau adalah seorang tokoh sakti mandraguna bernama Ki Ageng Ronggo, atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Mbah Ronggolawe, yang menjadi pusat dari kisah ini.
Dikisahkan, dalam suatu peperangan
besar—yang waktu dan siapa lawannya tak tercatat dalam sejarah, entah karena
dilupakan atau memang sengaja disamarkan—Ki Ageng Ronggo terluka parah. Sebuah
tombak menembus perutnya, melukai bagian dalam tubuhnya hingga menganga. Dalam
kondisi yang nyaris sekarat, ia tetap memilih untuk bertahan dan menguatkan
diri.
Dengan menaiki kuda putih pusaka,
Ki Ageng Ronggo memulai perjalanan penuh getir menuju tempat yang ia anggap
sebagai harapan terakhir—Padukuhan Malang, tempat tinggal Mbah
Malang, seorang pertapa tua sekaligus kerabat dekat yang dikenal memiliki
kesaktian dan kemampuan pengobatan luar biasa.
Perjalanan dari arah pantai
utara menuju Dukuh Malang penuh dengan kisah-kisah magis. Tatkala
sampai di suatu tempat yang saat ini dikenal sebagai “Dukuh Ketower”,
luka di perut Ki Ageng Ronggo tak kuasa tersembunyi. Ususnya mulai
terburai keluar—“ketok kleweran”, dalam istilah Jawa. Oleh karena itu
masyarakat menyebut peristiwa itu sebagai asal-usul nama “Ketower”,
dari kata ketok (terlihat) dan klewer (terburai).
Tak lama setelah melewati tempat itu,
kuda yang ditungganginya melangkah pelan. Namun kondisi Ki Ageng Ronggo semakin
lemah. Ia mulai limbung, tubuhnya nyaris terjatuh dari pelana. Suara langkah
kuda terdengar lemah, “keblak-keblak”, seperti gema kematian yang mendekat.
Tempat itu kemudian dikenang oleh warga sebagai “Ngablak”, yang kini
menjadi area pemakaman warga Dukuh Ketower, seolah menandai batas tipis antara
hidup dan ajal dalam perjalanan beliau.
Namun takdir belum mengizinkan Ki Ageng Ronggo menyerah. Ia terus melanjutkan perjalanan dengan segenap sisa tenaga dan ketabahan seorang kesatria. Ketika memasuki wilayah persawahan di tepi timur Dukuh Malang, kuda putih yang menjadi tunggangannya tiba-tiba terjerembab—“keringkel”, begitu istilahnya. Tubuh sang kesatria dan kudanya tersungkur dalam lumpur sawah yang lembab. Tempat itu pun kemudian dikenal masyarakat sebagai “Sawah Ringkel”, saksi bisu momen ketika tubuh lemah sang pejuang nyaris menyatu dengan tanah.(----Sawah Ringkel terletak sebelah utara makam desa, dahulu adalah tanah milik Pemdes, kemudian terjadi tukar guling dengan warga dan sekarang menjadi tempat hunian berupa perumahan warga setelah dikapling----).
Akhirnya, dalam keadaan hampir tak sadarkan diri, Ki Ageng Ronggo tiba di Dukuh Malang, di hadapan Mbah Malang yang segera memberikan pertolongan. Berkat kesaktian dan ilmu pengobatannya, luka parah itu berhasil disembuhkan. Dari situlah kemudian awal mula pengaruh besar Ki Ageng Ronggo di wilayah ini, yang kelak diwarisi semangatnya oleh generasi demi generasi dan kemudian namanya lebih dikenal dengan Mbah Ronggolawe.
Kisah ini bukan sekadar dongeng pelipur
lara, namun menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat Tlutup. Jejak
perjalanan Mbah Ronggo tersimpan dalam nama-nama tempat : Ketower,
Ngablak, dan Ringkel—yang hingga hari ini masih bisa kita saksikan dan
telusuri, sebagai pengingat bahwa sejarah kadang hidup dalam tanah, nama, dan
tutur yang diwariskan dari mulut ke mulut.
2. Mbah Ronggolawe : Sang Penjaga Tanah Malang.
Setelah melewati perjalanan berdarah
yang nyaris merenggut nyawanya,---------Ki Ageng Ronggo akhirnya
dirawat oleh Mbah Malang, sang pertapa tua yang tak lain adalah
kerabatnya sendiri. Di sebuah rumah panggung sederhana di tengah lebatnya
rerimbunan bambu dan pohon jati, luka di perut Ki Ageng Ronggo dirawat dan
diberikan pengobatan secara spiritual dan tradisional dengan ramuan akar hutan,
daun sembukan, dan do’a-do’a leluhur yang diucapkan lirih di tengah malam.
Dengan tekun dan telaten Mbah Malang dibantu isterinya merawat beliau siang dan
malam.
Dalam waktu yang tidak sebentar, luka
itu akhirnya berangsur-angsur pulih. Nafas sang kesatria kembali kuat, tatapan
matanya kembali tajam, dan semangat hidupnya menyala lagi.
Selama masa penyembuhan itu, Ki
Ageng Ronggo tak hanya berdiam diri. Ia mulai memperhatikan kehidupan sekitar,
berinteraksi dengan warga, menyapa anak-anak yang bermain di pematang, dan
mengamati bagaimana para petani bekerja di sawah.
Penduduk yang awalnya hanya mengenal
beliau sebagai "tamu sakit" pelarian dari utara, mulai merasakan bahwa yang mereka hadapi bukan manusia
sembarangan. Cara bicaranya halus tapi dalam, petuahnya menenangkan namun
tegas, dan setiap geraknya menunjukkan wibawa seorang pemimpin sejati.
Warga mulai berdatangan—bertanya, belajar, dan meminta
nasihat. Ki Ageng Ronggo mulai mengajarkan berbagai hal : cara mengatur air irigasi,
menentukan hari baik untuk bercocok tanam, menyelaraskan hidup dengan alam,
hingga menanamkan nilai gotong royong dan tata
krama budaya Jawa. Sedikit demi sedikit, kehadirannya menjadi cahaya bagi warga
Dukuh Malang yang saat itu masih terasing dari pusat pemerintahan dan
pendidikan.
Tak lama,
nama Ki Ageng Ronggo mulai harum. Ia bukan hanya sembuh dari luka, tetapi telah
menanamkan benih kebaikan yang berakar kuat di hati masyarakat. Sosoknya tidak
hanya dihormati sebagai orang tua atau tamu agung, tapi sebagai panutan
spiritual, budaya, dan kepemimpinan lokal.
Sejak itulah,
Ki Ageng Ronggo memutuskan untuk tidak akan kembali ke daerah asalnya,
dan memilih menetap di Padukuhan Malang.
Masyarakat
Dukuh Malang tidak lagi hanya melihatnya sebagai tamu yang sembuh, melainkan
sebagai leluhur yang membimbing dan menyatu dengan tanah ini. Jejak pengabdian
dan nilai-nilainya masih terasa hingga kini—terpatri dalam tutur rakyat,
nama-nama tempat, hingga cara hidup orang Tlutup yang tetap menjunjung nilai
kebaikan, kearifan, dan keteguhan.
3. Membangun Dukuh, Menanam Jiwa.
Dengan
karisma dan ilmu kanuragan yang ia miliki, Mbah Ronggolawe mulai
menarik perhatian penduduk sekitar. Ia tidak hanya dikenal sakti, tetapi juga
bijaksana. Dengan restu Mbah Malang, membuka lahan di sekitar padukuhan,
membangun permukiman baru, membangun sawah, membangun ladang, membuat
tambak-tambak baru dan memimpin warga membendung sungai kecil untuk irigasi. Ia
menanam padi, jagung, dan pisang klutuk yang kemudian tumbuh subur di tanah
yang dulunya liar.
Mbah
Ronggolawe juga mulai membimbing warga dalam ilmu tata krama, ilmu
pertanian, serta do’a-do’a tolak bala, kadang diiringi dengan
sajian ayam ingkung (-----hidangan ayam utuh khas Jawa yang dimasak dengan
santan dan bumbu rempah-rempah-----).
Beliau
mendirikan padepokan berupa punden kecil di ujung timur
padukuhan, sebagai tempat bermunajat dan memohon kepada Tuhannya agar bumi
selalu terjaga, yang dikenal sebagai Petilasan Ronggolawe, tempat
warga kadang membawa bunga, kemenyan, dan harapan. Punden itupun kini telah
menjadi areal pemakamam desa.
4. Tumbuhnya Desa Tlutup
Di bawah
kepemimpinan Mbah Ronggo serta bimbingan Mbah Malang, padukuhan Malang berubah
menjadi wilayah yang makmur. Orang-orang dari daerah sekitar mulai datang, ikut
menetap dan menyatu dengan warga lokal, dan menempati hunian-hunian yang
lahannya baru dibuka.
Karena
letaknya yang dulunya dikelilingi oleh pepohonan lebat dan terlindung dari
angin laut utara, banyak orang menyebut tempat itu sebagai Tlutup,
yang artinya “tertutup” atau “terlindung.”
Nama
"Tlutup" sendiri hingga kini masih belum diketahui secara pasti
asal-usulnya, namun masyarakat meyakini bahwa nama tersebut mencerminkan
karakteristik lokal, baik secara geografis maupun historis.
Ada juga
kisah yang menuturkan, bahwa awalnya terdapat tiga orang tokoh utama yang
menjadi panutan sekaligus inisiator yang namanya tak semuanya tercatat, tapi
jasa-jasanya masih abadi dalam ingatan – memimpin perjuangan agar Dukuh Malang
bisa dijadikan desa yang terpisah dari Desa Kadilangu. Dengan tekad bulat,
mereka memimpin masyarakat dengan semangat gotong royong melakukan berbagai
upaya diplomasi, mediasi, dan konsolidasi dalam rangka pemisahan wilayah.
Setelah melalui proses panjang yang penuh tantangan, akhirnya Dukuh Malang
secara resmi berhasil memisahkan diri dan menjadi desa mandiri untuk menentukan
nasib dan kebijakannya sendiri.
Sebagai
bentuk penghormatan atas keberhasilan tiga tokoh tersebut (telu dalam bahasa
Jawa) dalam mengakhiri dan menutup konflik (nutup dalam bahasa Jawa), maka nama
desa baru yang terbentuk diberi nama Tlutup. Nama ini merupakan penggabungan
dari kata “telu” dan “nutup”, yang dalam proses pelafalan mengalami
penyederhanaan fonetik menjadi “Tlutup” dan akhirnya jadilah Desa Tlutup.
Sejak saat
itulah nama Desa Tlutup perlahan tumbuh dalam ingatan
masyarakat. Bukan sekadar nama geografis, tapi simbol tempat yang aman, damai,
dan diberkahi oleh leluhur yang telah mempersembahkan darah dan semangatnya—--Ki
Ageng Ronggo, dialah Mbah Ronggolawe.
5. Akhir Riwayat
“Sang Ronggo”
Tidak ada
yang tahu pasti kapan Mbah Ronggolawe berpulang. Jasad beliau dimakamkan di
petilasan Ronggolawe, terletak di areal makam Desa Tlutup, dan terawat dengan
baik oleh masyarakat dan pemerintah desa.
Namun satu
hal yang pasti : semangat dan warisannya tetap hidup di tanah
Tlutup—dalam sawah yang ditanami dan tambak yang dikelola dengan kerja
keras, dari air yang mengalir ke sawah dan ke tambak.
Nama beliau
dikenang dalam tiap upacara Sedekah Bumi yang rutin dilakukan, dan dalam setiap
nama tempat yang menyimpan jejak langkahnya. Bahkan kebiasaan sajian ingkung
sampai hari ini masih dilestarikan sebagai ritual manganan/kenduri/slametan
ketika warga punya hajat di altar makamnya.
Meski banyak
orang mengenal Mbah Ronggolawe sebagai tokoh besar dari Tuban, masyarakat
percaya bahwa sebagian kisah perjalanan hidupnya terpatri di desa Tlutup. Jejak
langkahnya hidup dalam nama tempat, dan bahkan dalam cerita rakyat yang masih
disampaikan secara lisan hingga kini.
Mbah
Ronggolawe bukan hanya sosok kesatria yang datang dengan luka, tetapi juga
tokoh yang meninggalkan warisan luhur bagi masyarakat Dukuh Malang—kini Desa Tlutup.
Dari tapak petilasannya yang masih terjaga hingga hari ini, kita belajar bahwa
nilai kehidupan lebih abadi daripada kemenangan dalam perang.
Beliau hadir
membawa keteladanan, bukan kekuasaan. Ia mengajarkan bagaimana hidup selaras
dengan alam, membangun kebersamaan, dan menjaga tata krama leluhur. Petilasan
di timur desa bukan sekadar makam, tetapi lambang jati diri dan arah langkah
desa ini.
Warisan Mbah
Ronggo kini hidup dalam tutur, tradisi, dan tata laku warga Tlutup.
Selama petilasan dijaga dan kisah beliau dikenang, selama itu pula jiwa leluhur akan terus menyertai perjalanan desa ke masa depan.
Berada di
sudut timur Desa Tlutup, berdiri hening sebuah tempat yang menyimpan jejak
leluhur dan denyut spiritual masyarakat desa hingga hari ini. Di sanalah
berada Punden sekaligus Pesarean Mbah Ronggolawe, tokoh yang
diyakini sebagai pendahulu dan pelindung desa ini—seorang kesatria yang datang
bukan hanya membawa luka dari pertempuran, tapi juga membawa ilmu, budi
pekerti, dan teladan kehidupan.
Petilasan ini
bukan sekadar tempat bersejarah. Di sinilah dahulu Mbah Ronggolawe dari
Tuban, menghabiskan masa penyembuhan dari luka parah, berbaur dengan warga,
dan menanamkan nilai-nilai luhur : gotong royong, keteguhan hati, serta
harmoni dengan alam dan sesama. Dititik inilah beliau bermeditasi, bermunajat,
dan menyatu dengan tanah Dukuh Malang—yang kelak tumbuh menjadi Desa Tlutup.
Kini,
petilasan tersebut telah menyatu dengan areal makam desa, tempat
warga Tlutup beristirahat di akhir hayatnya. Namun, meski telah menjadi area
pemakaman umum, kesakralan dan kehormatan tempat ini tetap terjaga. Perawatan
rutin dilakukan, do’a-do’a leluhur masih dilantunkan lewat kegiatan tahlilan
yang diadakan oleh warga, baik dikala ada kematian maupun hajat-hajat yang
lain, dan ziarah ke makam Mbah Ronggo menjadi bagian dari tradisi spiritual
desa yang tidak lekang oleh waktu.
Situs makam
ini menjadi punden, tempat pesarean pepunden atau tokoh dan menjadi pengingat,
bahwa sejarah bukan hanya ditulis di buku, tapi juga di tanah yang kita injak
dan nilai yang kita warisi. Dan selama warga Tlutup menjaga
tempat ini, maka semangat Mbah Ronggo akan tetap menyala—di hati setiap
generasi yang mencintai tanah kelahirannya.
Setiap tahun
warga mengadakan ritual Sedekah Bumi sebagai bentuk syukur dan penghormatan
atas jasa-jasa leluhur, termasuk Mbah Ronggolawe dari Tuban yang telah menanam
jejak abadi di tanah Tlutup.
7. Makam Desa & Jejak Situs Makam Lama Dukuh Malang.
Pada masa
lampau, sebelum berdirinya Desa Tlutup, ketika wilayah Dukuh Malang masih
menjadi bagian dari Desa Kadilangu. Saat itu, seluruh urusan
kemasyarakatan—mulai dari pemerintahan, adat, hingga pemakaman—masih terpusat
dan bergantung kepada desa induk. Salah satu yang menjadi saksi bisu masa itu
adalah makam lama Dukuh Malang, yang terletak di bagian barat padukuhan, tepat
di batas wilayah antara Dukuh Malang dan kawasan krajan Desa Kadilangu.
Makam
tersebut dulunya menjadi tempat pemakaman umum bagi warga dari dua wilayah,
yaitu warga Dukuh Malang dan warga krajan Desa Kadilangu. Lokasinya berada di
tempat yang cukup strategis—terjangkau, tenang, dan secara adat berada dalam
perlindungan aura leluhur. Di tempat inilah generasi-generasi awal Dukuh Malang
dan Kadilangu dimakamkan, termasuk para tetua kampung yang berjasa membuka
lahan dan merintis kehidupan masyarakat terdahulu.
Namun,
sejarah kemudian bergerak maju. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya
jumlah penduduk serta rasa kebersamaan yang semakin kuat di antara warga Dukuh
Malang, melalui proses panjang dan perjuangan administratif serta sosial, Dukuh
Malang pun resmi memisahkan diri dari Desa Kadilangu dan mandiri menjadi Desa
Tlutup.
Sebagai
simbol kemandirian dan awal kehidupan baru, warga Desa Tlutup kemudian
membangun makam baru di sisi timur desa, berlokasi di seputar petilasan Mbah
Ronggolawe, tokoh yang diyakini sebagai leluhur dan pelindung spiritual desa.
Pemilihan lokasi makam baru ini tidak sembarangan—letaknya berada di tanah yang
diyakini sakral, dekat dengan pusat meditasi dan pertapaan Mbah Ronggo pada
masa lampau.
Makam baru
Desa Tlutup bukan hanya menjadi tempat pemakaman, tetapi juga menjadi tempat
kegiatan spiritual warga. Di sinilah do’a-do’a untuk leluhur dilantunkan,
tradisi sedekah bumi dan megengan dijalankan, serta nilai-nilai kebersamaan
antarwarga ditanamkan dari generasi ke generasi.
Sementara
itu, areal makam lama yang berada di sisi barat desa tidak dilupakan. Sebagai
bentuk penghormatan dan pelestarian warisan sejarah, lokasi tersebut kini
diubah fungsinya menjadi lokasi untuk pembangunan masjid desa (---Masjid
Baiturrahimdan sebagian untuk pembangunan SD Tlutup yang sekarang-----).
Keputusan ini
bukan hanya untuk kepentingan ruang ibadah, tetapi juga sebagai cara menjaga
kesinambungan nilai-nilai spiritual dan kebersamaan. Masjid tersebut kini
berdiri di atas tanah yang dahulu menjadi tempat peristirahatan terakhir para
pendahulu—sebuah simbol bahwa do’a dan amal ibadah masyarakat Tlutup kini
berpijak di atas warisan leluhurnya sendiri.
Areal Masjid Baiturrahim Desa Tlutup
8. Jejak Sejarah Atas Pantangan Pernikahan antara Warga Desa Tlutup dan Desa Kadilangu.
Dalam catatan
sejarah lisan sebagaimana dituturkan secara turun-temurun oleh para sesepuh, diceritakan
bahwa ada benih-benih penyebab terjadinya perpecahan antara Dukuh Malang dan
Desa Kadilangu ini, dipicu oleh silang sengketa antara saudara yang berasal
dari satu garis keturunan, namun kemudian terlibat dalam pertengkaran terkait
kekerabatan.
Perselisihan
ini bukan hanya berkaitan dengan urusan kepemimpinan atau tata kelola wilayah,
tetapi juga menyangkut harga diri dan hubungan kekeluargaan yang sangat
sensitif pada masa itu. Meskipun tidak terdokumentasi secara tertulis, kisah
ini diyakini benar oleh sebagian besar warga sebagai bagian dari sejarah lokal
yang membentuk identitas sosial mereka hingga kini.
Perpecahan
yang terjadi meninggalkan jejak emosional yang dalam dan memengaruhi hubungan
antarwarga. Dari peristiwa itulah kemudian lahir sebuah pantangan yang masih
diyakini hingga hari ini, yakni larangan bagi warga Desa Tlutup untuk menikah
atau kawin dengan warga Desa Kadilangu. Pantangan ini bukan semata soal adat,
melainkan juga simbol penghormatan terhadap sejarah, serta upaya untuk menjaga
harmoni dan menghindari terulangnya konflik lama dalam bentuk yang baru.
Meski tidak
tertulis dalam hukum resmi, pantangan ini dihormati sebagai bagian dari adat
istiadat dan nilai budaya lokal. Warga percaya bahwa melanggar pantangan dapat
mendatangkan kesialan, penyakit, bahkan perpecahan dalam rumah tangga. Oleh
sebab itu, hingga kini pantangan tersebut masih dijunjung tinggi, terutama oleh
kalangan tua dan tokoh adat, sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah dan
kearifan lokal.
9. Sejarah
Atas Warga Yang Hingga Sekarang Tidak Memelihara Sapi (Lembu berwarna putih)
Dalam tradisi
dan kepercayaan masyarakat Desa Tlutup, terdapat juga pantangan yang masih
dipegang hingga kini, yaitu warga tidak memelihara lembu atau sapi berwarna
putih. Hal ini berakar dari nilai-nilai adat dan penghormatan terhadap sosok
leluhur desa, yaitu Mbah Ronggo, yang diyakini sebagai tokoh dan pelindung
desa.
Menurut
cerita yang diwariskan secara turun-temurun, Mbah Ronggo memiliki kuda
tunggangan berwarna putih yang menjadi simbol kewibawaan, kekuatan, dan
kehadiran spiritual beliau. Oleh karena itu, sapi atau lembu putih dianggap
memiliki kesan menyerupai atau menyamai kendaraan tunggangan milik Mbah Ronggo.
Memelihara hewan dengan ciri yang sama dikhawatirkan akan dianggap tidak sopan,
menandingi, atau bahkan melanggar adab terhadap leluhur, yang bisa membawa
hal-hal yang tidak diinginkan bagi pemilik hewan maupun bagi kampung secara
umum.
Pantangan ini
bukan sekadar mitos, juga bukan semata perkara warna sapi, tetapi soal adab,
penghormatan terhadap leluhur, dan kesadaran akan batas-batas tradisi yang
diwariskan turun-temurun, yang kemudian menjadi bagian dari kearifan lokal yang
mencerminkan sikap hormat masyarakat terhadap sejarah dan nilai-nilai spiritual
yang membentuk jati diri Desa Tlutup.
Meskipun
zaman terus berubah, pantangan ini tetap dijaga sebagai bentuk pelestarian
budaya dan penghormatan terhadap warisan leluhur.
Dalam
masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual, kejadian seperti
ini menjadi pengingat bahwa tidak semua hal bisa dilihat hanya dari sisi
rasional — karena ada warisan tak kasat mata yang tetap hidup dalam kehidupan
sehari-hari.
10. Pamungkas.
Menguak jejak
sejarah adalah proses untuk memahami akar budaya, sejarah, dan perkembangan
suatu wilayah atau kelompok masyarakat. Proses ini melibatkan penggunaan
berbagai sumber sejarah dan memungkinkan kita untuk memiliki pemahaman yang
lebih luas tentang dunia di sekitar kita.
Menguak
jejak sejarah berarti mengungkap, menyelidiki, dan mempelajari warisan
budaya dan kejadian masa lalu untuk memahami konteks sosial, politik, dan
ekonomi suatu wilayah atau kelompok masyarakat. Ini melibatkan penggunaan
berbagai sumber sejarah seperti artefak, prasasti, catatan tertulis, dan
testimoni lisan untuk rekonstruksi peristiwa dan tren sejarah.
Jejak sejarah
desa adalah catatan perjalanan sejarah sebuah desa, mencakup asal-usul,
perkembangan, perubahan, dan peristiwa penting yang membentuk identitas dan
karakter desa tersebut. Jejak ini dapat berupa cerita lisan, situs peninggalan,
tradisi, artefak, dokumen tertulis, atau perubahan fisik pada lingkungan desa.
Memahami
jejak sejarah desa penting untuk menjaga identitas dan keberlanjutan budaya,
serta untuk menginspirasi generasi mendatang.
Oleh karena itu, kegiatan penulisan ini diharapkan menjadi media dalam rangka melestarikan identitas budaya dan sejarah Desa Tlutup, sekaligus memperkuat rasa kebersamaan masyarakat. Merupakan bentuk kegiatan pelacakan jejak-jejak sejarah dan pelestarian budaya lokal yang dimaksudkan sebagai upaya pendokumentasian sejarah, cerita rakyat, serta identitas budaya Desa Tlutup secara ilmiah dan berkelanjutan. Digali, di dapat dan diperoleh dari penuturan orang-orang tua warga Desa Tlutup.-
Lebih jauh
lagi, dokumentasi sejarah ini agar dapat menjadi modal sosial dan budaya dalam
pembangunan desa ke depan, termasuk pengembangan wisata spiritual, budaya, dan
edukasi.
Jikalau dari
warga ada info tambahan seperti nama tokoh-tokoh terdahulu, tahun atau waktu
kejadian, atau peristiwa besar lainnya yang pernah terjadi dan masih tertinggal
dalam penulisan ini, bisa dimasukkan kembali untuk memperkuat narasinya.
Termasuk jika ada penuturan narasi yang tidak sesuai atau bahkan salah, kiranya
ada koreksi dan pembenaran berdasarkan fakta-fakta sejarah tentang Desa Tlutup
beserta tokoh-tokoh yang telah mewarnai sejarah desa ini.
Arah dan
tujuannya antara lain sebagai berikut :
1. Menggali sejarah dan asal-usul Desa Tlutup secara mendalam melalui pendekatan
partisipatif..
2. Mencatat dan mendokumentasikan cerita rakyat, tradisi lokal, dan
tokoh-tokoh penting pelaku
sejarah desa
3. Menyusun profil sejarah Desa Tlutup sebagai wahana pelestarian
budaya dan pembelajaran generasi muda.
4. Menjelajahi kaitan budaya masyarakat dengan lingkungan pesisir,
pertanian, dan
pertambakan.
Sekali lagi, disadari betul, bahwa penulisan dokumen ini
masih terdapat banyak keterbatasan. Oleh karena itu, sangat terbuka terhadap
penyempurnaan di masa mendatang. Harapan dan permintaan, kiranya ada
partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat guna menyempurnakan dan melengkapi
literasi ini.
II. PROFIL DESA
A. LETAK GEOGRAFIS & WILAYAH ADMINISTRATIF
Desa Tlutup terletak di 5 KM dari
Ibukota Kecamatan Trangkil, dan 15 KM dari Ibukota Kabupaten Pati, Provinsi
Jawa Tengah. Secara geografis, desa ini berada di kawasan dataran rendah dengan
ketinggian antara 10 hingga 25 meter di atas permukaan laut, serta memiliki
kondisi tanah yang subur dan cocok untuk sektor pertanian, perikanan, dan
peternakan.
Desa Tlutup merupakan daerah pesisir
yang berbatasan langsung dengan pantai utara Laut Jawa. Kondisi tersebut
menjadikan wilayah ini memiliki area pertambakan yang luas dan persawahan pada
umumnya. Karena bersentuhan langsung dengan bibir laut, menyebabkan kondisi
tanah pantai berlumpur.
Secara administratif, Desa Tlutup berbatasan dengan :
· Sebelah Utara
: Laut Jawa
· Sebelah Timur
: Desa Kertomulyo
· Sebelah Selatan : Desa Krandan
· Sebelah Barat
: Desa Kadilangu
Luas wilayah Desa Tlutup kurang lebih
251,774 hektar (data resmi Pemdes 2021), yang terdiri atas lahan permukiman,
persawahan, tambak, ladang, serta fasilitas umum. Jumlah RT dan RW, ada
10 RT dan 2 RW.
Masyarakat Desa Tlutup memiliki
kehidupan sosial yang harmonis dan menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong,
kekeluargaan, dan tradisi lokal. Kebudayaan berjalan bersamaan dengan keagamaan
yang diartikan sebagai hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dan tradisi
kebudayaan yang masih dilestarikan adalah sedekah bumi. Sedekah bumi merupakan
istilah yang digunakan masyarakat sebagai bentuk syukur atas nikmat Tuhan
dengan menjalankan beberapa ritual berupa sesajen dan wayang kulit.
Menggunakan pendekatan islamisasi kultur
Jawa, tradisi sesajen merupakan wujud akulturasi budaya Islam-Jawa yang di
dalamnya dilantunkan do’a–do’a bernafaskan islami seperti tahlil, khataman
Al-Qur’an dan manakiban. Momen sedekah bumi dimanfaatkan untuk pelestarian
budaya dan sebagai perekat kerukunan warga.
Sistem kemasyarakatan di desa ini masih sangat kuat dipengaruhi oleh budaya Jawa dan tumbuh secara agamis, dengan pelaksanaan berbagai kegiatan adat, seperti :
·
Sedekah bumi
·
Pengajian di
tempat ibadah dan pengajian umum
·
Kenduri /
slametan
·
Kesenian
tradisional seperti rebana
·
Yasinan dan
Muslimatan
Mayoritas penduduk yang memeluk agama Islam ini menjalankan kehidupan
beragama dengan taat. Nilai-nilai toleransi, musyawarah, dan kearifan lokal
menjadi fondasi utama kehidupan bermasyarakat.
C. POTENSI
ALAM & EKONOMI
Desa Tlutup memiliki potensi sumber daya
alam yang cukup melimpah dan menjadi penopang ekonomi masyarakat. Potensi utama
desa ini meliputi :
·
Pertanian :
Padi dan hortikultura
·
Perikanan :
Budidaya tambak ikan dan ikan air tawar
·
Peternakan :
Ayam, itik, kambing, kerbau dalam skala rumah tangga
·
Perdagangan :
Pasar desa dan kios-kios sembako yang dikelola oleh warga
· Industri rumahan : Kerajinan tangan, makanan olahan, dan UMKM berbasis lokal
D. STRUKTUR
PEMERINTAHAN DESA
Struktur pemerintahan Desa Tlutup
dipimpin oleh seorang Kepala Desa, yang dibantu oleh :
· Sekretaris
Desa
· Kepala Urusan (Kaur)
· Kepala Seksi (Kasi)
· Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
· RT dan RW
Selain itu, terdapat juga lembaga desa
dan lembaga kemasyarakatan antara lain :
· LPMD (Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Desa)
· PKK
· Karang Taruna
· Kelompok Tani
(Sawah dan Tambak)
· Kelompok
Usaha Perempuan / UMKM, dan lain-lain.
· Organisasi NU, Muslimat, Fatayat, ANSHOR, IPNU, IPPNU, Ikatan Remaja Masjid dan
KAMUDAIS.
Struktur ini dapat mendukung terciptanya
tata kelola desa yang transparan, partisipatif, dan responsif terhadap
kebutuhan masyarakat.
E. SARANA PENDIDIKAN
Sarana Pendidikan yang ada di Desa Tlutup antara lain :
1. SD Negeri
2. Madrasah Diniyah Miftahul Ulum
3.
Taman Kanak-Kanak "Pertiwi"
4.
Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ) Hidayatus Syibyan
5.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
6. SD, SMP dan SMA Plus Abayasa Islamic School
Sarana Kesehatan untuk melayani
masyarakat antara lain:
1. Poli Kesehatan Desa
2. Posyandu Balita “Estingarah” ( 5 kelompok )
3.
Posbindu Lansia
1. Masjid Baiturrahim (RT. 01/RW. 01)
2. Musholla Al Hasyim (RT. 02/RW. 01)
3. Musholla As Shoheh (RT. 04/RW. 02)
4. Musholla Al Idris (RT. 02/RW. 02)
5. Musholla Al Masyhadi (RT. 05/RW. 01)
6. Musholla Darussalam (RT. 01/RW. 02)
7. Musholla Al Majid (RT. 04/RW. 01)
8. Musholla Al Suwardi (RT. 05/RW. 01)
9. Musholla Putri Al Masykuri (RT. 03/RW. 02)
10. Musholla Umar Said (RT. 05/RW. 02)
11. Musholla As Sholih (RT. 04/RW. 01)
Desa Tlutup terus berbenah untuk kemajuan desa, baik dalam bidang pembangunan fisik maupun non-fisik. Beberapa pencapaian dan kegiatan pembangunan yang telah terlaksana antara lain :
· Pembangunan
jalan desa dan jalan usaha tani.
· Rehabilitasi
saluran irigasi.
· Renovasi
fasilitas pendidikan dan tempat ibadah.
· Penguatan kelembagaan ekonomi desa, berupa Gerakan Kelompok Tani Sawah dan Tambak,
BUMDes
maupun koperasi desa.
· Program
pemberdayaan masyarakat, pelatihan UMKM, dan pelatihan pertanian modern.
· Partisipasi aktif dalam kegiatan kecamatan dan kabupaten, seperti lomba desa, Jambore
PKK,
festival seni budaya, festival baca seni Al-Qur’an dan masih banyak yang lain.
Meskipun belum menorehkan prestasi yang signifikan namun hal ini merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah desa dan partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan baik secara fisik maupun maupun secara spiritual.
Demikian dokumen Sejarah Singkat Asal
Usul dan Profil Desa Tlutup ini disusun sebagai gambaran menyeluruh mengenai
kondisi, potensi, dan sejarah Desa Tlutup, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati.
Penyusunan profil ini tidak hanya bertujuan untuk mendokumentasikan segi
administratif desa, tetapi juga sebagai upaya pelestarian nilai-nilai historis
dan budaya desa yang patut diwariskan kepada generasi penerus.
Disadari bahwa dokumen ini masih memiliki
keterbatasan dan sangat terbuka terhadap penyempurnaan di masa mendatang. Oleh
karena itu, partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat sangat diharapkan
guna mewujudkan Desa Tlutup yang lebih maju, mandiri, dan berdaya saing, tanpa
melupakan akar sejarah dan budaya yang menjadi fondasinya.
Akhir kata, semoga dokumen ini memberikan
manfaat bagi warga, para pemangku kebijakan, serta pihak-pihak yang
berkepentingan dalam mendukung pembangunan dan pemberdayaan Desa Tlutup secara
berkelanjutan.
---------------------------------oo0oo------------------------------------
(Ketua LPMD
Desa Tlutup)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar