Sebulan terakhir ini,
saya memperoleh kesempatan melakukan riset di beberapa desa. Melakukan dialog
seputar desa dengan berbagai orang yang memiliki latar belakang profesi
(seperti birokrat, akademisi, aparat desa, LSM, petani, peternak, dan nelayan)
menjadi target utama.
Atas dialog tersebut, dana desa menjadi isu
utama dibandingkan dengan isu-isu lain tentang desa. Ragam pertanyaan pun
mengemuka, seperti bisakah aparat desa mempertanggungjawabkan secara baik
penggunaan dana desa? Lalu, bagaimana mekanisme pencairan dan penggunaan dana
desa saat ini? Apakah ada implikasi manakala dana desa tidak diperuntukkan
sebagaimana diharapkan warga? Mampukah dana desa menjawab kebutuhan riil yang
dirasakan desa saat ini?
Di satu sisi pertanyaan-pertanyaan tersebut
membuat saya senang karena para pemerhati desa secara kritis mengikuti
perkembangan desa. Namun, di sisi lain, saya ragu apakah dana desa mampu
mempraksiskan filosofinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan
pembangunan desa. Di sinilah kadang muncul kekhawatiran, mampukah dana desa
menurunkan angka ketimpangan (indeks gini) desa yang sudah menyentuh poin 0,7
(sangat timpang)?
Sejak UU No 6/2014 tentang Desa
diberlakukan, banyak pihak memiliki pandangan yang berbeda tentang dana desa
meski PP No 60/2015 sudah dengan gamblang menjelaskan hal ini. Saya melihat ada
dua pandangan besar yang mencuat. Pertama, mereka yang berpandangan bahwa dana
desa bersumber APBN belum tepat diberikan kepada desa saat in. Kedua, yang
berpandangan bahwa aparat desa akan mampu mengelola dana desa yang diberikan
pemerintah kepada desa.
Munculnya dua pandangan dominan tersebut
sangat wajar karena peraturan perundangan yang mengatur dana desa berdampak
terhadap “wajah dana desa” yang paradoks. Ada tiga paradoks dana desa. Pertama,
pemberian dana desa menciptakan birokratisasi ketimbang pemberdayaan desa.
Mandatoris dana desa yang tertuang dalam UU No 6/2014, PP No 6/2015, dan
beberapa Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi (Permendesa)-seperti Permendesa No 4/2015 tentang Pendirian,
Pengurusan, Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa- dipandang
sebagai bentuk biroktisasi baru.
Sebutlah seperti dasar alokasi dana desa,
prosedur dan mekanisme dana desa, prioritas penggunaan dana desa, serta
pendirian BUMDes di setiap desa yang menjadi arahan Kemendes. Akan tetapi,
makna pemberdayaan desa, di mana dana desa untuk memperkuat pengetahuan aparat
dan warga desa dalam pengambilan keputusan penggunaan dana desa, menghadirkan
kesadaran penggunaan dana desa sesuai kebutuhan dan kondisi yang dihadapi desa
serta perencanaan dan monitoring-evaluasi partisipatif penggunaan dana desa
jauh dari yang diharapkan.
Paradoks kedua adalah dana desa mampu
meretas kesenjangan struktural, tetapi menghadirkan kesenjangan antarpulau.
Kebijakan afirmatif pemerintah terhadap desa dengan memberikan dana desa dari
2,6 persen menjadi 10 persen dari alokasi APBN merupakan langkah afirmatif dan
terobosan baru yang harus didukung.
Setidaknya masalah kesenjangan struktural
antara negara dengan desa perlahan teratasi. Namun, implementasi distribusi
dana desa yang hanya mempertimbangkan indikator jumlah desa telah menyulut
kesenjangan baru, yakni kesenjangan antarpulau.
Dari data yang kami olah, dana desa Rp
20,766 triliun yang akan didistribusikan tahun ini, 61,49 persen berada di
Pulau Jawa dan Sumatera. Sisanya, di Pulau Kalimantan (8,73 persen), Sulawesi
(11,44 persen), Bali dan Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku dan Papua
(12,08 persen). Artinya, indikator luas wilayah, penduduk miskin, dan tingkat
kesulitan akses tak dijadikan indikator perhitungan dalam pendistribusian dana
desa.
Ketiga, paradoks bahwa dana desa yang
mensyaratkan adanya RPJM Desa dan RKP Desa tidak sesuai antara harapan dan
kenyataan. Kesan ketergesa-gesaan dalam mempersiapkan berkas administrasi untuk
penyaluran dana desa menyebabkan RPJM Desa dan RKP Desa disusun tidak sesuai
harapan. Atas nama penyerapan dana desa, RPJM Desa, dan RKP Desa tidak lagi
disusun secara partisipatif yang melibatkan warga desa, melainkan top down
(bahkan menggunakan konsultan). Keinginan untuk transparansi jauh dari harapan.
Sebaliknya, RPJM Desa dan RKP Desa hanya diketahui oleh segelintir orang desa.
Alhasil, akuntabilitas diragukan dan korupsi dana desa adalah keniscayaan.
Menjawab kekhawatiran
Ketiga paradoks dana desa di atas tak akan
terjadi apabila sejak jauh hari kementerian yang mengurus desa (termasuk dana
desa) memahami kondisi empirik yang terjadi saat ini. Kondisi empirik desa yang
saya maksud adalah: (1) penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa tak sesuai konteks
ruang desa. Kondisi ini disebabkan desa tidak memiliki peta visual dan tematik
yang menggambarkan isi “rumah” desa; (2) dominannya batas-batas desa saat ini
yang masih imajiner (tidak berdasarkan/disertai koordinat batas). Padahal,
batas desa sangat menentukan kewenangan desa dalam penyelenggaraan dan penataan
desa. Alhasil, konflik vertikal maupun horizontal tidak jarang kita saksikan di
desa; dan (3) lemahnya instrumen yang tersedia bagi perangkat desa untuk
mendeteksi daya dukung desa melakukan perencanaan dan pengawasan pembangunan
desa.
Atas kondisi tersebut, tampaknya desa
membutuhkan kesadaran ruang (spasial) dalam pembangunan desa. Dokumen penting
pembangunan desa (RPJM Desa dan RKP Desa) sudah saatnya berbasis keruangan.
Untuk itu, agenda mendesak implementasi dana desa seyogianya dimulai dari
pembangunan desa berbasis keruangan, yaitu pembangunan yang
direncanakan-dilaksanakan-dimonitor dengan pendekatan potensi wilayah desa
secara partisipatif dengan membagi fungsi ruang desa ke dalam fungsi lindung
(konservasi) dan budi daya (ekonomi dan sosial).
Persoalan sulitnya desa mengakses informasi
berbasis keruangan, minimnya pengetahuan aparat desa tentang pembangunan
berbasis keruangan, minimnya metode pembaruan data desa, dan lemahnya
perencanaan desa berbasis keruangan dapat diatasi dengan menggunakan instrumen
drone desa. Drone desa berfungsi menyediakan informasi (data citra) pembangunan
desa berbasis keruangan dalam bentuk pemetaan partisipatif (batas desa, land
use, potensi desa, dan konflik batas desa) serta perencanaan partisipatif
(penataan ruang desa, RPJM, dan RKP Desa).
Dalam konteks UU No 6/2014, drone desa
untuk pembangunan desa berbasis keruangan memiliki relevansi untuk menjawab
masalah-masalah desa yang bersifat strategis. Hasil riset yang kami lakukan di
beberapa desa memberikan informasi bahwa penggunaan drone desa untuk penyediaan
informasi spasial sangat efektif dan akurat membantu desa dalam penataan desa
(batas desa berbasis visualisasi dan titik koordinat), perencanaan desa secara
partisipatif, mengetahui potensi investasi dan ekonomi desa, kejadian luar
biasa yang dialami desa (sedimentasi, kerusakan mangrove, dll), serta sebaran
dan besar aset desa.
Tentunya, keseluruhan informasi tersebut
diorientasikan untuk mendukung penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa yang
partisipatif, transparansi, serta akuntabel.
Akhirnya, perdebatan akan berakhir dan
kekhawatiran terhadap penggunaan dana desa akan sirna apabila desa membangun
menentukan jalan pembangunan desa berbasis keruangan. Artinya, perlahan dan
pasti keadilan ruang untuk desa akan terwujud untuk kesejahteraan dan
pemerataan pembangunan desa.
Sofyan Sjaf
Dosen Pascasarjana Sosiologi
Pedesaan IPB dan Sekretaris PSP3 IPB
Sumber: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar