" KESEJATIAN PEREMPUAN "
Keinginan yang mengebu-ngebu bagi lelaki, menyebabkan perempuan dipandang tidak memiliki kekuatan, sehingga lelaki berdiri tegak sebagai superior mendominasi perempuan. Pandangan lelaki lebih kuat dibandingkan perempuan mengakibatkan kaum hawa terus menerus menjadi objek penderitaan. Kaum lelaki berada di atas angin ingin menguasai perempuan, sementara perempuan seakan patah semangat untuk menunjukkan mereka juga memiliki kekuatan.
Untuk itulah perlu mematahkan pandangan lelaki lebih perkasa dibandingkan perempuan. Citra yang terbangun selama ini, lelaki lebih dibandingkan dengan perempuan, secara psikologis membangkitkan keinginan lelaki lebih besar lagi untuk menguasai perempuan. Maka lelaki pun melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan, terjadilah pelecehan seksual, kekerasan rumah tangga, bahkan perempuan dieksploitasi untuk kepentingan perempuan.
Mengatasi masalah perempuan makhluk lemah dibandingkan lelaki, membuka mata para pejuang perempuan melakukan gerakan menyetaraan perempuan sama dengan lelaki. Bermunculanlah pendapat tentang sebab perempuan ditindas oleh lelaki. Sistem patriarki meletakkan perempuan sebagai kelompok lain, sehingga lelaki dengan kekuasaannya menindas perempuan. Kelompok Feminis Marxis menganggap kapitalisme-lah penyebab utama dari ketertindasan perempuan; dominasi lelaki terhadap perempuan sama seperti dominasi modal terhadap buruh. Sementara Feminis Liberal memandang penindasan perempuan oleh lelaki disebabkan prasangka lelaki terhadap perempuan yang terlembaga dalam hukum partikular masyarakat yang menganggap perempuan itu lemah.
Gerakan perempuan sama dengan lelaki terus berlangsung. Dalam karya sastra, perbedaan gender ini menjadi inspirasi yang tidak pernah kering. Banyak penulis perempuan mengekspresikan kegundahan ataupun keinginan mereka dalam karya sastra. Mereka (penulis perempuan) terus ‘meledakkan’ pikiran bahwa perempuan sama dengan lelaki. Semangat perempuan ingin ‘terbang’ bersama lelaki semakin gencar ‘diproduksi’ dalam karya sastra. Herlela Ningsih, salah seorang penyair perempuan Riau, yang terus mengibarkan kesamaan gender di Tanah Melayu ini melalui karya-karya sastra, terutama puisi.
Salah satu puisi Herlela Ningsih yang mengibarkan kebesaran perempuan berjudul ‘’Musim Bermula’’. Puisi ini telah dibukukan dalam Kumpulan Puisi Penyair Perempuan se-Sumatera dengan judul yang sama, Musim Bermula. Buku yang memuat 18 penyair perempuan asal Sumatera ini, diterbitkan oleh Himpunan Perempuan Seni Budaya Pekanbaru (HPSBP) pada tahun 2001.
Dalam puisi ‘’Musim Bermula’’, Herlela Ningsih memperlihatkan bahwa perempuan merupakan makhluk Tuhan yang memiliki ketabahan dan tidak mudah putus asa berjuang. Mereka (perempuan) terus menancapkan keinginan di bentangan keadaan. Perjuangan masa lalu, masa kini dan masa akan datang, tidak pernah pudar, selalu ada harapan.
Setelah musim berganti
musim bermula kami bentangkan
jadi kanvas musim ke musim
Bait pertama puisi ‘’Musim Bermula’’ ini, memperkokoh keinginan memposisikan perempuan sebagai makhluk yang optimis, berharap dan terus berharap dengan keikhlasan. Perempuan juga tidak pernah takut berhadapan dengan masalah apapun, karena perempuan yakin, kerelaan menjadi senjata dalam menyelesaikan masalah. Kerelaan menjadi modal dasar untuk membangun kesejatian. Pada baris pertama puisi ini, kata musim mewakili keadaan yang sudah selesai dilalui, namun harapan masih belum tuntas. Maka pada baris kedua, recupan harapan terus mekar. Waktu kini menjadi jalan untuk mewujudkan keinginan yang belum tuntas itu. Dengan membentang harapan pada hari ini, secara tidak langsung akan menghasilkan keyakinan untuk masa akan datang.
Ketabahan menjadi kata kunci untuk membongkar kekuatan perempuan. Mereka (perempuan) mampu tetap bertahan menghadapi segala macam cobaan hidup dan ketabahan inilah yang membentuk citra perempuan itu kelihatan lemah. Padahal bertahan dengan ketabahan merupakan strategi mengungkai masalah sampai masalah tersebut benar-benar terselesaikan. Sederhana memang, namun untuk tetap bertahan dalam ketabahan itu diperlukan energi ekstra.
Kanvas sederhana namun sarat warna
Ketika menemui kesia-siaan
Semakin bersemangat untuk mencari
lalu rinai hujan mengalir membasahi kalbu
puisi pun merimbun di telaga kasih
kelopaknya memekarkan cinta dan kesetiaan
memecah kefanaan misteri di lubuk nurani
mengabadikan cinta dalam mahkota paling mawar
menggugurkan kabut asap di genangan bathin
aduhai
di musim bermula
kusiram benih hati yang melayu
di bakar kemarau
tersenyum kembang abadi
yang tak akan layu musim ke musim
kejora di matamu
membeningkan musim bermula
‘Apa adanya’ yang datang dari keikhlasan merupakan jalan menuju ketabahan. Jalan ini membuka alternatif untuk terus berbuat, sehingga segala macam persoalan menjadi terang. Pandangan makhluk lemah yang selama ini melekat pada sosok perempuan, terpatahkan. Perempuan tidak kenal kata menyerah, walaupun berhadapan dengan kebuntuan, mereka tetap berjuang mencari dan terus mencari untuk menemukan hakikat perjuangan, yaitu; menyelesaikan masalah dengan kesetiaan.
Mengedepankan perasaan bukanlah sesuatu kelemahan. Sensitivitas yang datang dari mata batin akan merecupkan cahaya dalam mengarungi segala macam ketidakjelasan hidup ini. Perasaan membentuk hipotesis yang harus diselesaikan dengan tindakan. Inilah gaya elegan perempuan dalam menyelesaikan masalah. Mereka tetap mengedepankan nilai keutuhan cinta, kesetiaan dalam mengambil sikap, walaupun duka mendera mereka.
Menjunjung cinta dan kesetiaan merupakan kelebihan perempuan. Kelembutan menjadi senjata untuk tetap bertahan. Kata puisi yang terdapat dalam baris kedua bait ketiga, mewakili perasaan perempuan yang terpendam dan pada akhirnya membuahkan rimbunan kasih. Kasih sayang menjadi perekat untuk tetap bertahan. Setelah rasa cinta cinta memunculkan kesejatian, segala kegelisahan perempuan mengembang keikhlasan. Perbuatan yang berdasarkan keikhlasan inilah yang dilihat sebagai kelemahan, padahal keikhlasan merupakan pondasi untuk membangun penyelesaian yang lebih arif.
Puisi Herlela Ningsih ini juga terasa aneh. Metafora yang digunakan terlalu dipaksakan, sehingga memunculkan kesan keliaran. Disaat membicarakan ‘keperkasaan’ perempuan secara universal, Herlela menarik permasalahan perempuan ke wilayah sempit mengenai perempuan Melayu. Seharusnya Herlela tidak memaksa ‘kehendaknya’, biarlah perempuan hadir di dalam puisinya secara umum tidak terpilah-pilah. Bukankah semua perempuan di dunia ini, menganggap dirinya tertindas oleh hegemoni lelaki?
Herlela sudah mencoba. Tidak banyak perempuan menyuarakan perlawanan melalui karya sastra. Di Riau, penulis perempuan masa kini dapat dihitung dengan jari. Herlela telah mengumpulkan kegelisahan itu dengan kumpulan puisi Musim Bermula.***
Hang Kafrawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar