Sumpah adalah pernyataan dan hakikat pergumulan tekad, perwujudan hasrat
hingga pada kebulatan niat untuk melakukan sesuatu. Sumpah adalah
konsekuensi dan menuntut tanggung jawab para pengucap sumpah. Dalam
kehidupan kita sumpah erat dan intim dengan persoalan religiositas
manusia yang berhadapan dengan Tuhannya. Sumpah sebagai tanda perwujudan
kepasrahan sekaligus tantangan manusia menjadi manusia tangguh. Dengan
sumpah itu pula manusia menghilangkan dirinya dan meleburkan dirinya
kepada tekad, usaha hingga keputusan Tuhan.
Mengapa penulis mesti
mewujudkan dirinya atau meleburkan dirinya untuk mengucap sumpah
menulis? Barangkali pertanyaan ini pun sulit dijawab bagi para penulis
atau orang yang mau bertekad menjadi seorang penulis. Mengapa pula orang
mesti menulis? Untuk apa menulis? Pertanyaan tersebut menemui para
penjawabnya, menemui para penulis itu sendiri setelah mengalami
permenungan, penghayatan, hingga refleksi yang mengental untuk mengucap
sumpah menulis dan menjawab pertanyaan mengapa ia harus menulis. Penulis
memiliki hak untuk menjawab dan menentukan untuk apa ia mesti menulis.
Kehadiran dan keputusan seseorang untuk menulis menimbulkan risiko,
tanggung jawab hingga pada gangguan atas pertanyaan tersebut. Bahkan
kegelisahan yang tak henti yang menimbulkan kreativitas selanjutnya
sehingga ia menghasilkan kreativitas dan tulisan berikutnya.
Luka dan Memoar
Poppy
Donggo Hutagalung pernah menceritakan tentang kepenulisannya. "Kami
akan mati kering bila menggantungkan hidup pada penghasilan mengarang
atau menyair. Berpikir ke arah itu saja sepertinya tak berani. Untuk
sebuah buku dongeng saya harus menunggu sekitar satu tahun. Jadi, bagi
saya tak ada kemungkinan menggantungkan hidup pada mengarang, apalagi
menyair. Walaupun demikian, dunia kepengarangan dan kepenyairan tetap
menarik hati saya, sekalipun nantinya saya tidak mampu lagi mengarang"
(1983). Menulis menyimpan derita, luka hingga memoar pahit bagi Poppy
Donggo Hutagalung. Kisah ini adalah sepenggal kisah yang menuntut bahwa
dunia kepenulisan adalah siksaan dan tragisme.
Seorang penulis
novel best seller dari Solo pun mengisahkan cerita yang tidak jauh
berbeda, ia harus berhadap-hadapan dengan kepentingan redaksi dan juga
kepentingan penerbit. "Sangat menjengkelkan ketika tokoh, alur, hingga
cerita dibabat habis oleh redaksi hanya demi satu kepentingan, yakni
kepentingan pasar," kata Sanie B. Kuncoro, penulis novel Ma Yan. Menulis
mesti menanggung konsekuensi itu, meskipun terkadang banyak penulis
mencoba menghindar, dan menolak dari derita dan siksaan itu.
Tak
hanya menulis karya sastra, menulis esai pun membawa derita yang lebih
menyakitkan. "Seorang penulis yang tak mau membaca akan mati di telan
zaman." Bandung Mawardi adalah salah satu esais yang menekuni,
menggeluti, dan bersumpah dengan menulis. "Hidup saya mesti dihabiskan
untuk membaca buku, menonton film, jadi bapak rumah tangga sambil
menangisi hidup yang terkadang menyiksa, tetapi saya memiliki tekad akan
terus menulis dan menulis, saya memutuskan untuk menulis."
Hidup
jadi taruhan dan bukti bahwa menulis mesti harus dilakoni.
Sampai-sampai anaknya perlu diberi nama Abad Doa Abjad. Menulis adalah
hidupnya. Ia bertaruh, bergelut untuk mewujudkan tulisan. Tulisan itulah
yang menghidupi, kerja kata itu yang mengekalkan dan membawanya hidup
dalam tulisan dan dihidupi dari tulisan.
Jalan Hidup
Adalah
wartawan Andreas Harsono yang memiliki keyakinan kuat yang ia temukan
dari gurunya, Bill Kovach, seorang jurnalis Amerika. Ia memiliki spirit
yang ditularkan bagi dirinya. Menjadi wartawan tak lain adalah jalan
hidup. "Dengan kualitas informasi yang jelas dan bermutu, maka kita
secara tidak langsung masyarakat akan lebih berkualitas dalam hidupnya."
Tulisan dalam dunia jurnalistik pun memiliki pilihan dan jalan
tersendiri. Tulisan menyimpan misi menyampaikan kebenaran. Kebenaran
itulah yang sering diusung dan menjadi pertaruhan dalam dunia
jurnalisme.
Eugene Meyer (1933) dalam Harian Washington Post
menyatakan: "Dalam menyajikan kebenaran, surat kabar ini kalau perlu
mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi
kepentingan masyarakat." Sebab itulah Andreas Harsono berani mengucap
semacam sumpah: "Agama saya adalah jurnalisme" yang dituliskan dalam
bukunya. Ia tak sekadar ingin menegaskan bahwa menulis yang benar,
menyampaikan fakta yang benar tak jauh beda dengan menyampaikan dan
menyatakan firman dan misi Tuhan. Sebab itulah ia menyatakan jurnalisme
tak beda dengan persoalan religiositas atau agama.
Tulisan
menjadi saksi, menjadi bukti, menjadi taruhan bahwa hidup mesti dilakoni
dan dijalankan. Menulis adalah kerja tak selesai yang mengandung misi,
menyimpan tekad dan membawa biografi. Sumpah menulis! Siapa berani?
Dengan risiko, dengan pergulatan, dengan permenungan yang harus
ditanggung. Untuk apa? Meminjam kata Pramoedya: "Menulis merupakan
terjemahan dari keadaan bahwa kehadiranku masih ada gunanya bagi
kehidupan." Bagaimana dengan Anda?
Arif Saifudin Yudistira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar